Translate

Selasa, 30 April 2013

sumber-sumber hukum islam



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian dalil?
2.      Apa saja sumber-sumber ilmu fiqh?

1.3. TUJUAN PENULISAN
1.      Agar mengetahui lebih dalam mengenai dalil
2.      Agar mengetahui mengenai sumber-sumber ilmu fiqh

 
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. DALIL
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni;
(1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil;
(2) menetapkan dalil bagi suatu hukum.
Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Dalil menurut pengertian bahasa yaitu penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi). Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mendefinisikan dalil sebagai sesuatu yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya.
2.      Menurut Al-Amidi, adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif.
3.      Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang bersifat praktis.
Intinya dalil adalah merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.
Dalil ini bisa di tunjau dari beberapa segi yaitu : (1) Dari segi asalnya, (2) Dari segi ruang lingkupnya, (3) Dari segi kekuatannya.



1.      Ditinjau dari segi asalnya[1]
Dalil ditinjau dari segi asalnya ada dua macam yaitu :
1)      Dalil Naqli yaitu dalil-daril yang berasal dari nash langsung, yaitu Al-Quran dan Sunnah;
2)      Dalil Aqli yaitu dalil-dalil yang bukan dari nash langsung, tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu ijtihad.
Dalam ilmu fiqh, dalil akal bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Al-Quran dan Hadits. Akan tetapi, kembali kepada Al-Quran dan Hadits. Setidaknya prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Al-Quran dan Hadits.[2]
2.      Ditinjau dari ruang lingkupnya[3]
Dalil ditinjau dari segi ruang lingkupnya ada dua macam yaitu :
1)      Dalil Kulli, adalah dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalanya ayat Al-Quran, ada kalanya Hadits dan ada kalanya Kaida-kaidah kulliyah;
2)      Dalil Juz’i atau Tafshili adalah dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu hukum tertentu.
3.      Ditinjau dari segi daya kekuatannya[4]
Dalil ditinjau dari segi daya kekuatannya dapat dibagi dua yaitu :
1)      Dalil Qath’i ini ada dua macam yaitu :
a.       Dalil al-Wurrud yaitu dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari Allah (Al-Quran) atau Rasulullah (Hadits Mutawatir). Al-Quran seluruhnya qath’i dilihat dari segi wurudnya. Tidak semua hadits qath.i wurudnya.
b.      Qath’i Dalalah, yaitudalil yang kata-katanya atau ungkpannya kata-katanya menunjukan arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin dipahamkan lain.
2)      Dalil Dhani dalil inipun ada dua macam yaitu:
a.       Dhani Al-Wurud, yaitu dalil yang hanya memberikan kesan yang kuat (sangkaan yang kuat) bahwa datangnya dari Nabi. Tidak ada ayat Al-Quran yang dhani wurudnya, adapun hadits ada yang dhani wurudnya, seperti hadits ahad.
b.      Dhani Al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya memberikan kemungkinan-kemungkinan arti dan maksud. Tidak menunjukan satu arti dan maksud tertentu.

2.2. SUMBER ILMU FIQH
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber fiqh yang pertama dan paling utama. Landasan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama adalah sebagai berikut:
QS. Al-Isra ayat 9

Artinya:  Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam yaitu[5] :
1)      Hukum-hukum I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para Rasulullah, dan kepada hari kiamat,
2)      Hukum-hukum Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk,
3)      Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum-hukum amaliyah ini ada dua macam yaitu mengenai ibadah dan muamalah dalam arti luas.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian ilmu fiqh.
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-Quran yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal A-syakhsyiah disebut lebih terperinci dibanding denan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia memerlukan tuntunan yang lebih banyak dari Allah SWT. Dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Dari pengalaman sejarah, manusia sering menyeleweng menjadi orang-orang yang menganggap makhluk menjadi Tuhannya atau menyekutukan Tuhan. Hal ini adalah sesat dan perlu diluruskan. Sedangkan keluarga dalah unsur terkecil dari masyarakat dan akan memberi warna kepada masyarakat yang akan dibentuk.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum sudah tentu sangat besar sekali manfaatnya. Karena dengan pengaturan yang bersifat umum itu Al-Quran bisa diterapkandalam berbagai macam masyarakat dan terhadap berbagai macam kasus sepanjang zaman. Jadi. Hukum-hukum yang bersifat umum itu memiliki daya fleksibel yang tinggi dalam menghadapi berbagai macam perubahan masyarakat. Sedangkan perincian dari hukum-hukum yang bersifat umum ini diserahkan kepada ijtihad paramujtahid, kemudian kepada para ulil amri, hasil ijtihad mana yang akan diterapkan sesuai dengan kemaslahatan masyarakatnya. Dengan demikian hukum islam memberikan peluang kepada masyarakat manusia untuk berubah, maju dandinamis, namun perubahan, kemajuan, dan kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas prinsip-prinsip umumnya. Prinsip-prinsip umumtersebut merupakan pengarah menuju masyarakat yang baik yang ada dalam maghfirah Dn ridho Allah SWT. Prinsip umum itu antara lain Tauhidullah, persaudaraan, persatuan, dan keadilan.
Kebijaksanaan Al-Quran dalam menetapkan hukum menggunakan prinsip-prinsip:
1)      Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan
2)      Menyedikitkan tuntutan
3)      Bertahap dalam menerapkan hukum[6]
4)      Sejalan dengan kemaslahatan manusia[7]

2.      As-Sunnah
As-Sunnah sering disamakan dengan hadis.  As-Sunnah adalah berupa perbuatan, perkataan atau diamnya Nabi SAW yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena itu, ada sunnah Fi’liyah, sunnah Qawliyah, dan sunnah Taqririyah. Sunnah yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.
As-Sunnah merupakan sumebr hukum kedua setelah Al-Quran, didasarkan kepada QS. An-Nisa ayat 64

Artinya: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizing Allah”
As-sunnah menjadi hujah, bisa dijadikan sumber hukum karena:[8]
a.       Allah menyuruh untuk taat kepada Rasulullah. Taat kepada rasulullah adalah juga berarti taat kepada Allahb.
b.      Rasulullah mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Quran,
c.       Ijma sahabat, dan dibuktikan pula oleh Hadits Muadz bin jabal yang menerangkan urutan-urutan sumber hukum.
Adapun sebab nya As-Sunnah menjadi sumber hukum yang kedua adalah:[9]
a.       Wurudl Al-Quran qath’i seluruhnya, sedangkan As-Sunnah banyak yang wurudl-nya dhani
b.      As-Sunnah merupakan penjelasan terhadap Al-Quran, yang dijelaskan sudah barang tentu menempati tempat yang pertama, dan penjelasannya menempati tempat yang kedua.
c.       Urutan dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang menempatkan As-Sunnah pada tempat yang kedua.
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Al-Quran dalam hukum adalah:[10]
a.       As-Sunnah berfungsi sebagai penjelas, memerinci yang mujmal mengkhususkan yang umum. Seperti cara-cara shalat disebutkan dalam Sunnah, beberapa barang yang wajib dizakati, dan membatasi wasiat maksimal sepertiga harta.
b.      Hukumnya sudah disebut dalam Al-Quran kemudian As-Sunnah menguatkannya dan menambahnya. Seperti dalam kasus lian yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran kemudian Sunnah menyebutkan wajibnya bercerai antara suami-istri yang melakukan lian.
c.       As-Sunnah memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Quran, seperti keharaman memadu seorang wanita dengan bibinya, haramnya memakan binatang yang bertaring.
Apabila disimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam Sunnah bisa berupa hukum-hukum yang menguatkan kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran atau hukum yang tidak disebut dalam Al-Quran akan tetapi bisa dikembalikan kepada prinsip-prinsip umum dalam Al-Quran. Oleh karena itu tidak mungkin terjadi ta’arudl (bertentangan) antara hukum-hukum dalam As-Sunnah dengan hukum-hukum dalam Al-Quran. Adapun perbuatan-perbuatan rasulullah yang merupakan khususyiat rasulullah seperti beristri lebih dari empat tidak bisa dijadikan dasar hukum.

3.      Al-Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid atau ulama umat Nabi Muhammad SAW dalam suatu masa setelah wafat beliau atas suatu hukum tertentu. Yang dimaksud dengan kata “umat Nabi Muhammad SAW adalah ijma’-nya para mujtahid umat Muhammad yang sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang bukan umat Muhammad SAW misalnya umat Nabi Isa, umat Nabi Musa, dsb. Selanjutnya jika mereka telah mensepakati masalah hukum tersebut, maka hukum itu menjadi aturan agama yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Contoh : Ijma’ para sahabat Nabi SAW dimasa Sayyidina Umar r.a dalam menegakkan sholat tarawih. Selain itu, Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal, Nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya, Hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak & ayah yang masih hidup.
Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu hukum syara’. Oleh karena itu, menurut Hanafi dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut[11]:
1.      Kebulatan dapat terwujud apabila pendapat seseorang sama dengan pendapat yang lain;
2.      Apabila ada yang tidak sependapat, tidak aka nada ijma’ tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah;
3.      Jika pendapat di suatu masagtersebut hanya keluar dari seseorang mujtahid, bukan termasuk ijma’
4.      Kebulatan pendapat harus real artinya semua mengatakannya baik dengan lisan, tulisan maupun isyarat;
5.      Kesepakatan yang dimaksudkan hanya berlaku untuk mujtahid, bukan yang lainnya;
6.      Kebulatan pendapat dari kelompok tertentu bukan merupakan ijma’, sebab yang dimaksud ijma’ disini adalah ijma’ummah (seluruh umat bersepakat).
Terjadinya ijma’ disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
1.      Karena pernah terjadi dan hal itu diakui secara mutawatir;
2.      Pada masa awal Islam, para mujtahid masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan ijma’ dan menetapkan suatu ketetapan hukum.

Ada berbagai macam ijma’, antara lain:
Ditinjau dari ruang-lingkup para mujtahid yang berijma’, maka Ijma’ bisa dibagi kepada beberapa bagian :
1.      Ijma’ al-Ummat, Ijma’ inilah yang di maksud dengan dermisi pada awal pembahasan ini;
2.      Ijmaush Sahabat, yaitu persesuaian paham segala ulama sahabatterhadap sesuatu urusan;
3.      Ijma’ Ahl al-Madinah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Madinah terhadap sesuatu asus. Ijma’ inibbagi Imam Malik adalah Hujjah;
4.      Ijma’ Ahl al-Kufah, Ijma’ ini dianggap hujah oleh Imam Hanifah;
5.      Ijma’ al-Khulafa al-Arba’ah , Ijma ini oleh sebagian ulama dianggap hujah;
6.      Ijma’ al-Syaykhayni, yaitu persesuaian paham Abu Bakar dan Umar dalam suatu hukum, dan
7.      Ijma’ al-Itrah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama Ahli Bait.
Ditinjau dari cara terjadinya dan martabatnya Ijma’ ada 2 macam :
1.      Ijma’ al-Sharih, yaitu Ijma’ dengan tegas persetujuan dinyatakan baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, dan
2.      Ijma’ Sukuti, yaitu Ijma’ yang dengan tegas persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid, sedang sebagian ainnya diam, tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang.
Ijma’ bentuk pertama yang disebut juga Ijma’ hakiki atau Ijma’ Qauli yaitu merupakan hujah menurut pendapat jumhur, sedang Ijma’ dalam bentu kedua disebut Ijma’ al-I’tibari dalam pendapat jumhur bukan hujah.

4.      Al-Qiyas
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan atau pengukuran sesuatu dengan yang liannya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Jadi, Qiyas ialah persamaan hukum sesuatu yang tidak ada dalilnya dengan hukum sesuatu yang ada dalilnya dikarenakan hampir bersamaan atau karena adanya persamaan hukum. Jumhur ulama muslimin bersepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’i dan selanjutnya menjadi sumber hukum. Contoh : Allah telah mengharamkan Khamar (arak ) karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukkan hukumnya haram di Qiyaskan dari khamar (arak). Rasulullah telah mewajibkan zakat ternak unta, sapi dan kambing. Maka segala hewan ternak yang sejenis hewan tersebut diatas maka wajib dizakatkan. Contohnya : Kerbau wajib dizakatkan di Qiyaskan dari sapi.
Unsur-unsur Qiyas yaitu : ashal, cabang, hokum asal dan illat hukum.
1.      Ashal yaitu sesuatu yang dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengQiyaskan, dalam istilah Ushul Fiqh disebut Al-Ashlu atau al-Maqis alih atau al-Musyabah bihi.
Ashal ini harus berupa nash, yaitu Al-Qur’an, Al-Sunnah atau Ijma. Disamping itu ashal ini juga harus mengandung illat hukum.
2.      Cabang (far’u) yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu yang diQiyaskan. Dalam istilah Ushul Fiqh disebut Al-Fa’ru, al-Maqis atau Al-Musyabah. Untuk cabang ini harus memenuhi syarat :
a.       Cabang tidak mempunyai hukum yang tersendiri;
b.      Illat hukum yang ada pada cabang harus sama dengan yang ada pada ashal;
c.       Cabang tidak lebih dahulu ada daripada ashal, dan
d.      Hukum cabang sama dengan hukum ashal.
3.      Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hokum ashal harus dipenuhi syarat-syarat :
a.       Hukum ashal harus merupakanhukum pada amaliah;
b.      Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyariatannya harus rasional;
c.       Ukum ashal bukan hukum yang khusus. Huum yang khusus seperti dilarang menikahi bekas istri Nabi, dan
d.      Hukum ashal masih tetap berlaku. Apabila hukum ashal sudah tidak berlaku lagi misalnya sdah dimansukh, maka tidak bias dijadikan hukum ashal.
4.      Illat hukum yaitu suatu sifat yang nyata dan tertentu yang beraitan atau munasabah dengan ada dan tidak adnya hukum. Illat hukum ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.       Illat itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindrai. Tanpa diketahui dengan jelas adanya illat, ita tidak dapat mengQiyaskan . seperti misalnya emabukkan dapat diindrai adanya pada khamar;
b.      Illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang;
c.       Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum  dalam arti illat tadi merupakan penerapan hukum untuk mencapai maqasidu syari’ah. Seperti memabukkan ada keitanyya dengan keharaman khamar, keharaman tadi hikmahnya dalam rangka memelihara aqal/hifdzu al-Aql;
d.      Illat bukan sifat yang hanya terdapat pada ashal, sebab apabila sifat itu hanya terbatas pada ashal tidak mungkin dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah tidak bias diQiyaskan kepada orang lain, dan
Illat tidak berlawanan dengan nash, apabila berlawanan nash-lah yang didahulukan.

5.      Al-Ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah :”Mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nila-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syariah”. Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada pada nya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya, dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkan merupakan hukum yang benr, baik indah, dan bijaksana. Hal ini sudah tentu tidaklah mudah. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang menentukan hanya beberapa syarat saja. Ukuran kualitas mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah :
1)      Mengetahui Al-Quran, Al-Sunah dan bahasa arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam;
2)      Mengetahui makasidu syari’ah, prinsip-prinsip umum, dan semangat ajaran islam;
3)      Mengetahui turuq al-istinbath Ushul Fiqh, metode menemukan dan menerpkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran;
4)      Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Pada dasarnya ada tiga macam cara berijtihad :
1)      Dengan memerhatikan kaidah-kaidah bahasa(linguistik) seperti kemungkinan-kemungkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainya;
2)      Dengan menggunakan kaidah qiyas(analogi) dengan memerhatikan asal, cabang, hukum asal, dan illat hukum;
3)      Dengan memerhatikan semangat ajaran islam atau roh syariah. Untuk ini sangat menentukan kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqhiyah, prinsip-prinsip umum hukum islam dan dalil-dalil kulli.
Lapangan ijtihad itu meliputi dali-dalil yang qath’i wurudlnya tetapi dhani dalalahnya,yang dhani wurudl nya qath’i dalalahnya, yang dhani wurudlnya dan dalalahnya serta terhadap kasus-kasus yang tidakada hukumnya.
Ditinjau dari subjek yang melakukan ijtihad, ijtihad itu ada dua macam :
1.      Ijtihad Fardhi, yaitu ijtihad yang dilakukan secara perorangan.
2.      Ijtihad Jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok orang.
Dalam ijtihad jama’i ini bukan saja ahli-ahli hukum islam yang harus hadir, tetapi juga para ahli di bidang yang terkait dengan hukum yang akan ditetapkan. Misalnya mau menetapkan hukum asuransi, maka harus hadir ahli mengenai asuransi diminta penjelasan dan pendapatnya, kemudian dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukumnya.
Adanya ijtihad jama’i makin dirasakan kepentingannya setelah meluasnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabang yang beraneka ragam, sehingga tidak ada orang yang ahli di segala bidang. Ijtihad jama’i ini juga bisa mengarahkan dan menghasilkan ijma.
Ditinjau dari bentuknya,ijtihad juga dibagi kepada :
1.      Ijtihad fi Takhrij al-Ahkam(ijtihad mengeluarkan hukum)
2.      Ijtihad fi Tathbiq al-Ahkam(ijtihad menetapkan hukum)
Perbedaan kedua macam ijtihad ini adalah :
1)      Di dalam ijtihad fi Takhrij al-ahkam, seorang mujtahid hanya menentukan hukumnya saja tanpa mempertimbangkan kondisi subjek hukum atau kondisi masyarakt dimana hukum mau diterapkan, sedangkan di dalam ijtihad fi Tathbiq al-Ahkam kondisi subjek hukum dan kondisi masyarakat dimana hukum akan diterapkan sangat diperhatikan;
2)      Di dalam ijtihad fi Takhrij al-ahkam, lebih megutamakan penggunaan kaidah-kaidah ushul fiqh, sedangkan di dalam Ijtihad fi Tathbiq al-Ahkam lebih mengutamakan penggunaan kaidah-kaidah fiqh;
3)      Di dalam ijtihad fi Takhrij al-ahkam, di kenal hukum azima, sedangkan di dalam Ijtihad fi Tathbiq al-Ahkam dikenal sebab, syarat, mani’, rukhsyah, dan dharurat.

6.      Al-Istihsan
Istihsan adalah perpindahan dari satu hokum yang telahditetapkan oleh dalil syara’ kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini sesuai dengan jiwa Syari’ah Islam.
Tidak ada kesepakatan diantara para ulama tentang sanad istihsan ini. Ulama-ulama Hanafyah menyebutkan 4 macam sandaran istihsan yaitu :
1.      Istihsan yang sandarannya qiyas khafi;
2.      Istihsan yang sandarannya ‘urf yang shahih;
3.      IIstihsan yang sandarannya nash, dan
4.      Istihsan yang sandarannya darurat.
Ulama-ulama Malikiyah hanya menyebutkan 3 macam sandaran Istihsan, yaitu :
1.      Istihsan yang sandarannya ‘urf shahih;
2.      Istihsan yang sandarannya mashlahat, dan
3.      Istihsan yang sandarannya raf’ al-Kharaj.

7.      Al-Mashlahah Al-Mursalah
Al-Mashlahah al-Mursalah adalah memberikan hukum syara kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam nash atau ijma’ atas dasar memelihara kemashlahat-an.
Berbicara tentang kemashlahatan, ada 3 macam kemashlahatan :
1.      Kemashlahatan yang ditegaskan oleh al-Qur’an atau Al-Sunnah. Kemashlahatan ini diakui oleh ulama. Contohnya seperti hifdzu nafsi, hifdzu mal dll;
2.      Kemashlahatan yang bertentangan dengan nash syara yang qath’i. terdapat perbedaan diantara para ulama tentang hal in, dan
3.      Kemashlahatan yang tidak dinyatakan oleh syara, tapi juga tidak ada dalil yang menolaknya. Inilah yang dimaksud oleh para ulama. Para ulama yang menolak penggunaan istihsan juga menolak penggunaan mashlahah mursalah ini.
8.      Al-Istishhab
Asyauani menta’rifkan Istihsab dengan “tepatnya sesuatu hukum selama tidak ada yang mengubahnya.” Contoh Istihsab adalah sebagai berikut :
1.      Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisah, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung ehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain;
2.      Orang yang hilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia, dan
3.      Seorang yang 5telah menikah terus dianggap ada dalam hubunan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan talak

9.      Al-‘Urf
‘Urf adalah sikap, perbuatan dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan manusia atau oleh manusia seluruhnya. Syarat-syarat ‘urf yang bias diterima oleh hukum Islam adalah :
1.      Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut baik dalam al-Qur’an atau Sunnah;
2.      Pemakaiannya tida mengakibatkan dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemasadatan, kesempitan dan kesulitan, dan
3.      Telah berlau secara umum dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.

 
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalil merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.
Pada umumnya sumber hukum Islam atau sumber ilmu fiqh yaitu Al-qur’an, As-Sunnah, Ijtihad, Ijma’, Qiyas. Selain sumber hukum yang diatas, ada sumber hukum yang tidak disepakati. Diantaranya Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Syaru Man Qablana, dan Zaddu Az-Zariah. Namun, sumber hukum Islam yang pokok adalah Al-qur’an dan As-sunnah. Hukum-hukum yang lain berfungsi untuk menetapkan hukum tetapi tidak bertentangan dengan Al-quran dan As-sunnah.


 DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia
Prof. H. A. Djazuli. 2010. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
http:/ /pustaka.abatasa.com/pustaka/ddetail/fiqih/ilmu-fiqih/110/sumber-fiqh.html
http:/ /hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/26/sumber-ilmu-fiqih/



[1] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta, Kencana, 2010) hlm. 58
[2] Abdul wahab Khalaf, op.cit. hlm 22. Abdul zahrah, op.cit., hlm. 76
[3] op.cit , hlm. 59
[4] op.cit, hlm 60
[5] op.cit, hlm. 63
[6] Al-Hudhari Bik, Tarikh At-Tasyrri’ Al Islami, Madba’ah Sa’adah, Mesir, Cetakan ke 6, 1954, hlm 18
[7] Abdul wahab Khalaf, Khaslahaha Tarik Al Islami Ad-Daar Alkuwaetiyah, cetakan ke 8, hlm. 22
[8] Prof. H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta, Kencana, 2010) hlm. 68
[9] Ibid, hlm 69
[10] Ibid, hlm 69
[11] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung, Pustaka Setia 2009) hlm. 166

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komen ya gan :D