BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian dalil?
2. Apa
saja sumber-sumber ilmu fiqh?
1.3. TUJUAN PENULISAN
1. Agar mengetahui lebih dalam mengenai
dalil
2. Agar mengetahui mengenai sumber-sumber
ilmu fiqh
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
DALIL
Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema
kajian yang utama, yakni;
(1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil;
(2) menetapkan dalil bagi suatu hukum.
Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih
tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum. Dalil
menurut pengertian bahasa yaitu penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat,
daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk)
kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi). Sedangkan
secara istilah, para ulama ushul fiqih mendefinisikan dalil sebagai sesuatu
yang dijadikan sebagai dalil terhadap hukum syara’ yang berkenaan
dengan perbuatan manusia yang didasarkan pada pandangan yang benar
mengenainya, baik secara qathi (pasti) atau Zhanni (kuat).
Selain itu beberapa definisi tentang
dalil menurut para Ushul Fiqh mengemukakan, di antaranya adalah sebagai
berikut.
1.
Menurut Abd
al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan
(orang) dengan menggunakan pikiran yang benar untuk mencapai objek informatif
yang diinginkannya.
2.
Menurut
Al-Amidi, adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada
pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif.
3.
Menurut
Wahbah al-Zuhaili dan Abd al-Wahhab Khallaf, dalil adalah sesuatu yang
dijadikan landasan berpikir yang benar dalam memperoleh hukum syara yang
bersifat praktis.
Intinya dalil adalah merupakan
sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan perbuatan
manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau dengan
jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.
Dalil ini bisa di tunjau dari beberapa segi
yaitu : (1) Dari segi asalnya, (2) Dari segi ruang lingkupnya, (3) Dari segi
kekuatannya.
1.
Ditinjau
dari segi asalnya[1]
Dalil ditinjau dari segi asalnya ada dua
macam yaitu :
1)
Dalil
Naqli yaitu dalil-daril yang berasal dari nash langsung, yaitu Al-Quran dan
Sunnah;
2)
Dalil Aqli
yaitu dalil-dalil yang bukan dari nash langsung, tetapi dengan menggunakan akal
pikiran, yaitu ijtihad.
Dalam ilmu fiqh, dalil akal bukanlah dalil
yang lepas sama sekali dari Al-Quran dan Hadits. Akan tetapi, kembali kepada
Al-Quran dan Hadits. Setidaknya prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Al-Quran
dan Hadits.[2]
2.
Ditinjau
dari ruang lingkupnya[3]
Dalil ditinjau dari segi ruang lingkupnya ada dua macam yaitu :
1)
Dalil
Kulli, adalah dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini
adakalanya ayat Al-Quran, ada kalanya Hadits dan ada kalanya Kaida-kaidah
kulliyah;
2)
Dalil
Juz’i atau Tafshili adalah dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu
hukum tertentu.
3.
Ditinjau
dari segi daya kekuatannya[4]
Dalil ditinjau dari segi daya kekuatannya
dapat dibagi dua yaitu :
1)
Dalil
Qath’i ini ada dua macam yaitu :
a.
Dalil
al-Wurrud yaitu dalil yang meyakinkan bahwa datangnya dari Allah (Al-Quran)
atau Rasulullah (Hadits Mutawatir). Al-Quran seluruhnya qath’i dilihat dari
segi wurudnya. Tidak semua hadits qath.i wurudnya.
b.
Qath’i
Dalalah, yaitudalil yang kata-katanya atau ungkpannya kata-katanya menunjukan
arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin
dipahamkan lain.
2)
Dalil
Dhani dalil inipun ada dua macam yaitu:
a.
Dhani
Al-Wurud, yaitu dalil yang hanya memberikan kesan yang kuat (sangkaan yang
kuat) bahwa datangnya dari Nabi. Tidak ada ayat Al-Quran yang dhani wurudnya,
adapun hadits ada yang dhani wurudnya, seperti hadits ahad.
b.
Dhani
Al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya memberikan
kemungkinan-kemungkinan arti dan maksud. Tidak menunjukan satu arti dan maksud
tertentu.
2.2.
SUMBER ILMU FIQH
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber fiqh yang pertama dan paling utama. Landasan
bahwa Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama adalah sebagai berikut:
QS.
Al-Isra ayat 9
Artinya: Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk
kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang
Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar,
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan
mutawatir, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat
Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.
Hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Quran ada tiga macam yaitu[5]
:
1)
Hukum-hukum
I’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah,
kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para Rasulullah, dan kepada
hari kiamat,
2)
Hukum-hukum
Khuluqiyah, yaitu hukum-hukum yang berhubungan dengan akhlak. Manusia wajib
berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk,
3)
Hukum-hukum
Amaliyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia.
Hukum-hukum amaliyah ini ada dua macam yaitu mengenai ibadah dan muamalah dalam
arti luas.
Bagian yang ketiga inilah yang menjadi bahan kajian ilmu fiqh.
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-Quran yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal A-syakhsyiah disebut lebih terperinci dibanding denan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia memerlukan tuntunan yang lebih banyak dari Allah SWT. Dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Dari pengalaman sejarah, manusia sering menyeleweng menjadi orang-orang yang menganggap makhluk menjadi Tuhannya atau menyekutukan Tuhan. Hal ini adalah sesat dan perlu diluruskan. Sedangkan keluarga dalah unsur terkecil dari masyarakat dan akan memberi warna kepada masyarakat yang akan dibentuk.
Berdasarkan penelitian para ulama hukum, dalam Al-Quran yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal A-syakhsyiah disebut lebih terperinci dibanding denan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia memerlukan tuntunan yang lebih banyak dari Allah SWT. Dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Dari pengalaman sejarah, manusia sering menyeleweng menjadi orang-orang yang menganggap makhluk menjadi Tuhannya atau menyekutukan Tuhan. Hal ini adalah sesat dan perlu diluruskan. Sedangkan keluarga dalah unsur terkecil dari masyarakat dan akan memberi warna kepada masyarakat yang akan dibentuk.
Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum
sudah tentu sangat besar sekali manfaatnya. Karena dengan pengaturan yang
bersifat umum itu Al-Quran bisa diterapkandalam berbagai macam masyarakat dan
terhadap berbagai macam kasus sepanjang zaman. Jadi. Hukum-hukum yang bersifat
umum itu memiliki daya fleksibel yang tinggi dalam menghadapi berbagai macam
perubahan masyarakat. Sedangkan perincian dari hukum-hukum yang bersifat umum
ini diserahkan kepada ijtihad paramujtahid, kemudian kepada para ulil amri,
hasil ijtihad mana yang akan diterapkan sesuai dengan kemaslahatan
masyarakatnya. Dengan demikian hukum islam memberikan peluang kepada masyarakat
manusia untuk berubah, maju dandinamis, namun perubahan, kemajuan, dan
kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas prinsip-prinsip umumnya. Prinsip-prinsip
umumtersebut merupakan pengarah menuju masyarakat yang baik yang ada dalam
maghfirah Dn ridho Allah SWT. Prinsip umum itu antara lain Tauhidullah,
persaudaraan, persatuan, dan keadilan.
Kebijaksanaan Al-Quran dalam menetapkan hukum menggunakan prinsip-prinsip:
1)
Memberikan
kemudahan dan tidak menyulitkan
2)
Menyedikitkan
tuntutan
3)
Bertahap
dalam menerapkan hukum[6]
4)
Sejalan
dengan kemaslahatan manusia[7]
2. As-Sunnah
As-Sunnah sering disamakan dengan hadis. As-Sunnah adalah berupa perbuatan, perkataan
atau diamnya Nabi SAW yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena itu, ada sunnah
Fi’liyah, sunnah Qawliyah, dan sunnah Taqririyah. Sunnah yang terakhir bisa
terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut,
tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.
As-Sunnah merupakan sumebr hukum kedua setelah Al-Quran, didasarkan
kepada QS. An-Nisa ayat 64
Artinya:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan
seizing Allah”
As-sunnah menjadi hujah, bisa dijadikan sumber hukum karena:[8]
a.
Allah
menyuruh untuk taat kepada Rasulullah. Taat kepada rasulullah adalah juga
berarti taat kepada Allahb.
b.
Rasulullah
mempunyai wewenang untuk menjelaskan Al-Quran,
c.
Ijma
sahabat, dan dibuktikan pula oleh Hadits Muadz bin jabal yang menerangkan
urutan-urutan sumber hukum.
Adapun sebab nya As-Sunnah menjadi sumber hukum yang kedua adalah:[9]
a.
Wurudl
Al-Quran qath’i seluruhnya, sedangkan As-Sunnah banyak yang wurudl-nya dhani
b.
As-Sunnah
merupakan penjelasan terhadap Al-Quran, yang dijelaskan sudah barang tentu
menempati tempat yang pertama, dan penjelasannya menempati tempat yang kedua.
c.
Urutan
dasar hukum yang digunakan oleh para sahabat yang menempatkan As-Sunnah pada
tempat yang kedua.
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Al-Quran dalam hukum adalah:[10]
a.
As-Sunnah
berfungsi sebagai penjelas, memerinci yang mujmal mengkhususkan yang umum.
Seperti cara-cara shalat disebutkan dalam Sunnah, beberapa barang yang wajib
dizakati, dan membatasi wasiat maksimal sepertiga harta.
b.
Hukumnya
sudah disebut dalam Al-Quran kemudian As-Sunnah menguatkannya dan menambahnya.
Seperti dalam kasus lian yang sudah dijelaskan dalam Al-Quran kemudian Sunnah
menyebutkan wajibnya bercerai antara suami-istri yang melakukan lian.
c.
As-Sunnah
memberi hukum tersendiri yang tidak terdapat dalam Al-Quran, seperti keharaman
memadu seorang wanita dengan bibinya, haramnya memakan binatang yang bertaring.
Apabila disimpulkan hukum-hukum yang terdapat dalam Sunnah bisa
berupa hukum-hukum yang menguatkan kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran
atau hukum yang tidak disebut dalam Al-Quran akan tetapi bisa dikembalikan
kepada prinsip-prinsip umum dalam Al-Quran. Oleh karena itu tidak mungkin
terjadi ta’arudl (bertentangan) antara hukum-hukum dalam As-Sunnah dengan
hukum-hukum dalam Al-Quran. Adapun perbuatan-perbuatan rasulullah yang
merupakan khususyiat rasulullah seperti beristri lebih dari empat tidak bisa
dijadikan dasar hukum.
3.
Al-Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid
atau ulama umat Nabi Muhammad SAW dalam suatu masa setelah wafat beliau atas
suatu hukum tertentu. Yang dimaksud dengan kata “umat Nabi Muhammad SAW adalah
ijma’-nya para mujtahid umat Muhammad yang sekaligus mengecualikan kesepakatan
para mujtahid yang bukan umat Muhammad SAW misalnya umat Nabi Isa, umat Nabi
Musa, dsb. Selanjutnya jika mereka telah mensepakati masalah hukum tersebut,
maka hukum itu menjadi aturan agama yang wajib diikuti dan tidak mungkin
menghindarinya. Contoh : Ijma’ para sahabat Nabi SAW dimasa Sayyidina Umar r.a
dalam menegakkan sholat tarawih. Selain itu, Penetapan awal ramadhan dan syawal
berdasarkan ru’yatul hilal, Nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya, Hak waris
seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak & ayah
yang masih hidup.
Ijma’ merupakan kebulatan pendapat semua
ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu hukum syara’. Oleh karena itu, menurut
Hanafi dalam ijma’ terkandung hal-hal berikut[11]:
1. Kebulatan dapat terwujud apabila
pendapat seseorang sama dengan pendapat yang lain;
2. Apabila ada yang tidak sependapat, tidak
aka nada ijma’ tetapi pendapat terbanyak dapat dijadikan hujjah;
3. Jika pendapat di suatu masagtersebut
hanya keluar dari seseorang mujtahid, bukan
termasuk ijma’
4. Kebulatan pendapat harus real artinya
semua mengatakannya baik dengan lisan, tulisan maupun isyarat;
5. Kesepakatan yang dimaksudkan hanya
berlaku untuk mujtahid, bukan yang lainnya;
6. Kebulatan pendapat dari kelompok
tertentu bukan merupakan ijma’, sebab yang dimaksud ijma’ disini adalah ijma’ummah (seluruh umat bersepakat).
Terjadinya ijma’
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu:
1. Karena pernah terjadi dan hal itu diakui
secara mutawatir;
2. Pada masa awal Islam, para mujtahid
masih sedikit dan terbatas sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan
ijma’ dan menetapkan suatu ketetapan hukum.
Ada berbagai
macam ijma’, antara lain:
Ditinjau dari ruang-lingkup para
mujtahid yang berijma’, maka Ijma’ bisa dibagi kepada beberapa bagian :
1. Ijma’
al-Ummat, Ijma’ inilah yang di maksud dengan
dermisi pada awal pembahasan ini;
2. Ijmaush
Sahabat, yaitu persesuaian paham segala ulama
sahabatterhadap sesuatu urusan;
3. Ijma’
Ahl al-Madinah, yaitu persesuaian paham
ulama-ulama Ahli Madinah terhadap sesuatu asus. Ijma’ inibbagi Imam Malik
adalah Hujjah;
4. Ijma’
Ahl al-Kufah, Ijma’ ini dianggap hujah oleh
Imam Hanifah;
5. Ijma’
al-Khulafa al-Arba’ah , Ijma ini oleh
sebagian ulama dianggap hujah;
6. Ijma’
al-Syaykhayni, yaitu persesuaian paham Abu Bakar
dan Umar dalam suatu hukum, dan
7. Ijma’
al-Itrah, yaitu persesuaian paham ulama-ulama
Ahli Bait.
Ditinjau
dari cara terjadinya dan martabatnya Ijma’ ada 2 macam :
1. Ijma’
al-Sharih, yaitu Ijma’ dengan tegas persetujuan
dinyatakan baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan, dan
2. Ijma’
Sukuti, yaitu Ijma’ yang dengan tegas
persetujuan dinyatakan oleh sebagian mujtahid, sedang sebagian ainnya diam,
tidak jelas apakah mereka menyetujui atau menentang.
Ijma’ bentuk pertama yang disebut juga Ijma’ hakiki atau Ijma’ Qauli yaitu merupakan hujah menurut pendapat jumhur, sedang
Ijma’ dalam bentu kedua disebut Ijma’
al-I’tibari dalam pendapat jumhur bukan hujah.
4.
Al-Qiyas
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu,
qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan,
timbangan atau pengukuran sesuatu dengan yang liannya atau penyamaan sesuatu
dengan sejenisnya. Jadi, Qiyas ialah persamaan hukum sesuatu yang tidak ada
dalilnya dengan hukum sesuatu yang ada dalilnya dikarenakan hampir bersamaan
atau karena adanya persamaan hukum. Jumhur ulama muslimin bersepakat bahwa
Qiyas merupakan hujjah syar’i dan selanjutnya menjadi sumber hukum. Contoh : Allah
telah mengharamkan Khamar (arak ) karena merusak akal, membinasakan badan,
menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukkan hukumnya haram di Qiyaskan
dari khamar (arak). Rasulullah telah mewajibkan zakat ternak unta, sapi dan
kambing. Maka segala hewan ternak yang sejenis hewan tersebut diatas maka wajib
dizakatkan. Contohnya : Kerbau wajib dizakatkan di Qiyaskan dari sapi.
Unsur-unsur
Qiyas yaitu : ashal, cabang, hokum asal dan illat hukum.
1. Ashal yaitu sesuatu yang dinashkan
hukumnya yang menjadi tempat mengQiyaskan, dalam istilah Ushul Fiqh disebut Al-Ashlu atau al-Maqis alih atau al-Musyabah
bihi.
Ashal
ini harus berupa nash, yaitu
Al-Qur’an, Al-Sunnah atau Ijma. Disamping itu ashal ini juga harus mengandung
illat hukum.
2. Cabang (far’u) yaitu sesuatu yang tidak dinashkan hukumnya yaitu yang
diQiyaskan. Dalam istilah Ushul Fiqh disebut Al-Fa’ru, al-Maqis atau Al-Musyabah. Untuk cabang ini harus
memenuhi syarat :
a. Cabang tidak mempunyai hukum yang
tersendiri;
b. Illat hukum yang ada pada cabang harus
sama dengan yang ada pada ashal;
c. Cabang tidak lebih dahulu ada daripada
ashal, dan
d. Hukum cabang sama dengan hukum ashal.
3. Hukum ashal yaitu hukum syara’ yang
dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang. Untuk hokum
ashal harus dipenuhi syarat-syarat :
a. Hukum ashal harus merupakanhukum pada
amaliah;
b. Hukum ashal harus ma’qul al-ma’na, artinya pensyariatannya harus rasional;
c. Ukum ashal bukan hukum yang khusus. Huum
yang khusus seperti dilarang menikahi bekas istri Nabi, dan
d. Hukum ashal masih tetap berlaku. Apabila
hukum ashal sudah tidak berlaku lagi misalnya sdah dimansukh, maka tidak bias
dijadikan hukum ashal.
4. Illat hukum yaitu suatu sifat yang nyata
dan tertentu yang beraitan atau munasabah dengan ada dan tidak adnya hukum.
Illat hukum ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Illat itu harus merupakan sifat yang
nyata, artinya dapat diindrai. Tanpa diketahui dengan jelas adanya illat, ita
tidak dapat mengQiyaskan . seperti misalnya emabukkan dapat diindrai adanya
pada khamar;
b. Illat harus merupakan sifat yang tegas
dan tertentu dalam arti dapat dipastikan wujudnya pada cabang;
c. Illat hukum mempunyai kaitan dengan
hikmah hukum dalam arti illat tadi
merupakan penerapan hukum untuk mencapai maqasidu syari’ah. Seperti memabukkan
ada keitanyya dengan keharaman khamar, keharaman tadi hikmahnya dalam rangka
memelihara aqal/hifdzu al-Aql;
d. Illat bukan sifat yang hanya terdapat
pada ashal, sebab apabila sifat itu hanya terbatas pada ashal tidak mungkin
dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah tidak bias diQiyaskan
kepada orang lain, dan
Illat tidak berlawanan dengan nash,
apabila berlawanan nash-lah yang didahulukan.
5. Al-Ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan
usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad dalam hal yang
ada kaitannya dengan hukum adalah :”Mengerahkan segala kesanggupan yang
dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nila-nilai uluhiyah atau
mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syariah”. Seorang mujtahid mengerahkan
segala potensi yang ada pada nya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya,
keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya, dan keutamaan kearifannya.
Sehingga hukum yang dihasilkan merupakan hukum yang benr, baik indah, dan
bijaksana. Hal ini sudah tentu tidaklah mudah. Karena itu seorang mujtahid
harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang
sangat banyak dan ada pula yang menentukan hanya beberapa syarat saja. Ukuran
kualitas mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara
syarat-syarat yang sangat penting adalah :
1)
Mengetahui
Al-Quran, Al-Sunah dan bahasa arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam;
2)
Mengetahui
makasidu syari’ah, prinsip-prinsip umum, dan semangat ajaran islam;
3)
Mengetahui
turuq al-istinbath Ushul Fiqh, metode menemukan dan menerpkan hukum, agar hukum
hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran;
4)
Memiliki
akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Pada dasarnya ada tiga macam cara berijtihad :
1)
Dengan
memerhatikan kaidah-kaidah bahasa(linguistik) seperti kemungkinan-kemungkinan
arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan
lain-lainya;
2)
Dengan
menggunakan kaidah qiyas(analogi) dengan memerhatikan asal, cabang, hukum asal,
dan illat hukum;
3)
Dengan
memerhatikan semangat ajaran islam atau roh syariah. Untuk ini sangat
menentukan kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqhiyah,
prinsip-prinsip umum hukum islam dan dalil-dalil kulli.
Lapangan ijtihad itu meliputi dali-dalil yang qath’i wurudlnya tetapi dhani dalalahnya,yang dhani wurudl nya qath’i dalalahnya, yang dhani wurudlnya dan dalalahnya serta terhadap kasus-kasus yang tidakada hukumnya.
Lapangan ijtihad itu meliputi dali-dalil yang qath’i wurudlnya tetapi dhani dalalahnya,yang dhani wurudl nya qath’i dalalahnya, yang dhani wurudlnya dan dalalahnya serta terhadap kasus-kasus yang tidakada hukumnya.
Ditinjau dari subjek yang melakukan ijtihad, ijtihad itu ada dua
macam :
1.
Ijtihad
Fardhi, yaitu ijtihad yang dilakukan secara perorangan.
2.
Ijtihad
Jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok orang.
Dalam ijtihad jama’i ini bukan saja ahli-ahli hukum islam yang harus hadir, tetapi juga para ahli di bidang yang terkait dengan hukum yang akan ditetapkan. Misalnya mau menetapkan hukum asuransi, maka harus hadir ahli mengenai asuransi diminta penjelasan dan pendapatnya, kemudian dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukumnya.
Adanya ijtihad jama’i makin dirasakan kepentingannya setelah meluasnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabang yang beraneka ragam, sehingga tidak ada orang yang ahli di segala bidang. Ijtihad jama’i ini juga bisa mengarahkan dan menghasilkan ijma.
Dalam ijtihad jama’i ini bukan saja ahli-ahli hukum islam yang harus hadir, tetapi juga para ahli di bidang yang terkait dengan hukum yang akan ditetapkan. Misalnya mau menetapkan hukum asuransi, maka harus hadir ahli mengenai asuransi diminta penjelasan dan pendapatnya, kemudian dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukumnya.
Adanya ijtihad jama’i makin dirasakan kepentingannya setelah meluasnya ilmu pengetahuan dengan cabang-cabang yang beraneka ragam, sehingga tidak ada orang yang ahli di segala bidang. Ijtihad jama’i ini juga bisa mengarahkan dan menghasilkan ijma.
Ditinjau dari bentuknya,ijtihad juga dibagi kepada :
1.
Ijtihad fi
Takhrij al-Ahkam(ijtihad mengeluarkan hukum)
2.
Ijtihad fi
Tathbiq al-Ahkam(ijtihad menetapkan hukum)
Perbedaan
kedua macam ijtihad ini adalah :
1)
Di dalam
ijtihad fi Takhrij al-ahkam, seorang mujtahid hanya menentukan hukumnya saja
tanpa mempertimbangkan kondisi subjek hukum atau kondisi masyarakt dimana hukum
mau diterapkan, sedangkan di dalam ijtihad fi Tathbiq al-Ahkam kondisi subjek
hukum dan kondisi masyarakat dimana hukum akan diterapkan sangat diperhatikan;
2)
Di dalam
ijtihad fi Takhrij al-ahkam, lebih megutamakan penggunaan kaidah-kaidah ushul
fiqh, sedangkan di dalam Ijtihad fi Tathbiq al-Ahkam lebih mengutamakan
penggunaan kaidah-kaidah fiqh;
3)
Di dalam
ijtihad fi Takhrij al-ahkam, di kenal hukum azima, sedangkan di dalam Ijtihad
fi Tathbiq al-Ahkam dikenal sebab, syarat, mani’, rukhsyah, dan dharurat.
6. Al-Istihsan
Istihsan
adalah perpindahan dari satu hokum yang telahditetapkan oleh dalil syara’
kepada hukum lain karena ada dalil syara yang mengharuskan perpindahan ini
sesuai dengan jiwa Syari’ah Islam.
Tidak ada kesepakatan diantara para ulama tentang sanad istihsan ini.
Ulama-ulama Hanafyah menyebutkan 4 macam sandaran istihsan yaitu :
1.
Istihsan yang sandarannya qiyas khafi;
2.
Istihsan yang sandarannya ‘urf yang shahih;
3.
IIstihsan yang sandarannya nash, dan
4.
Istihsan yang sandarannya darurat.
Ulama-ulama
Malikiyah hanya menyebutkan 3 macam sandaran Istihsan, yaitu :
1.
Istihsan yang sandarannya ‘urf shahih;
2.
Istihsan yang sandarannya mashlahat, dan
3.
Istihsan yang sandarannya raf’ al-Kharaj.
7. Al-Mashlahah Al-Mursalah
Al-Mashlahah
al-Mursalah adalah memberikan hukum syara kepada suatu kasus yang tidak
terdapat dalam nash atau ijma’ atas dasar memelihara kemashlahat-an.
Berbicara
tentang kemashlahatan, ada 3 macam kemashlahatan :
1.
Kemashlahatan yang ditegaskan oleh al-Qur’an
atau Al-Sunnah. Kemashlahatan ini diakui oleh ulama. Contohnya seperti hifdzu
nafsi, hifdzu mal dll;
2.
Kemashlahatan yang bertentangan dengan nash
syara yang qath’i. terdapat perbedaan
diantara para ulama tentang hal in, dan
3.
Kemashlahatan yang tidak dinyatakan oleh
syara, tapi juga tidak ada dalil yang menolaknya. Inilah yang dimaksud oleh
para ulama. Para ulama yang menolak penggunaan istihsan juga menolak penggunaan
mashlahah mursalah ini.
8. Al-Istishhab
Asyauani
menta’rifkan Istihsab dengan “tepatnya sesuatu hukum selama tidak ada yang
mengubahnya.” Contoh Istihsab adalah sebagai berikut :
1.
Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap
sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli,
warisah, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung ehingga ada
bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain;
2.
Orang yang hilang tetap dianggap hidup
sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal
dunia, dan
3.
Seorang yang 5telah menikah terus dianggap
ada dalam hubunan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah
bercerai, misalnya dengan talak
9. Al-‘Urf
‘Urf
adalah sikap, perbuatan dan perkataan yang “biasa” dilakukan oleh kebanyakan
manusia atau oleh manusia seluruhnya. Syarat-syarat ‘urf yang bias diterima
oleh hukum Islam adalah :
1.
Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus
tersebut baik dalam al-Qur’an atau Sunnah;
2.
Pemakaiannya tida mengakibatkan
dikesampingkannya nash syari’ah termasuk juga tidak mengakibatkan kemasadatan,
kesempitan dan kesulitan, dan
3.
Telah berlau secara umum dalam arti bukan
hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalil
merupakan sesuatu yang daripadanya diambil hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia secara mutlak, baik dengan jalan qathi atau
dengan jalan zhanni mengenai pandangan kebenaran.
Pada umumnya
sumber hukum Islam atau sumber ilmu fiqh yaitu Al-qur’an, As-Sunnah, Ijtihad, Ijma’,
Qiyas. Selain sumber hukum yang diatas, ada sumber hukum yang tidak disepakati.
Diantaranya Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab,
Al-Urf, Syaru Man Qablana, dan
Zaddu Az-Zariah. Namun, sumber hukum Islam yang pokok adalah Al-qur’an
dan As-sunnah. Hukum-hukum yang lain berfungsi untuk menetapkan hukum tetapi
tidak bertentangan dengan Al-quran dan As-sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Ilmu
Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia
Prof. H. A. Djazuli. 2010. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan
Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
http:/
/pustaka.abatasa.com/pustaka/ddetail/fiqih/ilmu-fiqih/110/sumber-fiqh.html
http:/
/hasansaggaf.wordpress.com/2012/02/26/sumber-ilmu-fiqih/
[1] Prof.
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta, Kencana, 2010) hlm. 58
[2] Abdul wahab Khalaf, op.cit. hlm 22. Abdul zahrah, op.cit., hlm. 76
[3] op.cit , hlm. 59
[6] Al-Hudhari
Bik, Tarikh At-Tasyrri’ Al Islami, Madba’ah Sa’adah, Mesir, Cetakan ke 6, 1954,
hlm 18
[7] Abdul wahab Khalaf, Khaslahaha Tarik Al Islami Ad-Daar
Alkuwaetiyah, cetakan ke 8, hlm. 22
[8] Prof.
H. A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta, Kencana, 2010) hlm. 68
[9] Ibid, hlm 69
[10] Ibid, hlm 69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komen ya gan :D