PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Hukum syara'
merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin
ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang
mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda, Ushul fiqh meninjau hukum
syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau
dari segi hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Dari pada itu, lewat makalah ini kami
akan mencoba membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum
taklifi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh, khususnya terhadap Hukum taklifi.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Apa pengertian dari hukum taklifi ?
2. Sebutkan bentuk-bentuk dari hukum taklifi ?
1.3. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang pengertian dari hukum taklifi.
2. Menjelaskan tentang bentuk-bentuk hukum taklifi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi
menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang berhubungan
langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran untuk
melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk memberi
kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat1.
Hukum Taklifi
adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan2. Sedangkan menurut Chaerul Uman dkk, bahwa
hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir3.
Hukum Taklifi
adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara
perintah dan larangan. Hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada
dalam batas kemampuan seorang mukallaf, yang merupakan aktifitas manusia.
Contoh, seperti
firman Allah SWT. Yang bersifat menuntut untuk melakukan sesuatu
perbuatan:
Artinya: “Dan dirikanlah Shalat, tunaikan zakat dan taatilah rasul supaya kamu
diberi rahmat”. (QS. An-Nur: 56)4.
Contoh firman Allah SWT. yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan.
Artinya : “ Janganlah kamu memakan harta diantara kamu dengan jalan batil.”
(QS. Al-Baqarah : 188).
1. H.Satria Efendi,
M.Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm 41
2. Rachmat Syaf’I,
Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CVPustaka Setia 2009), hlm 296
3. Chairul Uman,
Ushul Fiqh 1,(Bandung: CV Pustaka Setia 1998), hlm 261
4. Rachmat Syaf’I,
Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CVPustaka Setia 2009), hlm 296
2.2 Bentuk-bentuk
Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan
bentuk-bentuk hukum taklifi. Pertama, menurut jumhur ulama Ushul Fiqh. Menurut
mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah,
karahan, dan tahrin. Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi seperti iftirab, ijab,
nabd, ibahah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyyah, dan tahrim.
1.
Ijab
(mewajibkan)
Ijab yaitu ayat atau hadits dalam bentuk
perintah yang mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang
mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah sesuatu yang
berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan. Seperti firman Allah:
Arinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikalah zakat….”. (QS. An-Nur: 56).
Dalam ayat
ini, Allah menggunakan lafazh amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqh melahirkan
ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat
dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang
mukallaf, maka disebut dengan wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu (
yaitu mendirikan shalat dan membayar zakat), disebut dengan wajib.
Para
ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hokum wajib (ijab) dibagi dari berbagai
segi, yaitu:
Hukum
Wajib dilihat dari segi waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Wajib Muthlaq
Wajib
Muthlaq yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan oleh mukallaf
tanpa ditentukan waktunya. Mislanya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman
bagi orang yang melanggar sumpahnya.
2.
Wajib Muwaqqat
Wajib
Muwaqqat yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang mukallaf pada
waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Demikian halnya puasa Ramadhan,
sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada. Kemudian wajib Muwaqqat
dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.
Wajib Muwassa’ (kewajiban yang
mempunyai batas waktu lapang)
Wajib
Muwassa’ yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan perbuatan yang diwajibkan
itu lebih luas dari pada waktu mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu
shalat Isya’ lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Subuh.
b.
Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang
memunyai batas waktu sempit)
Wajib
Mudhayyaq yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan bagi suatu
amalan, dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain yang
sejenis. Maksudnya, waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan
kewajiban itu, seperti puasa bulan Ramadhan.
c.
Wajib Dzu Asy-Syibhaini
Wajib
Dzu Asy- Syibhaini yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang, tetapi
tidak bisa digunakan untuk melakukan amalan sejenis secara berulang-ulang.
Misalnya, waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksankan beberapa
amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang diperhitungkan syara’
hanya satu saja. Akan tetapi ulama’ syafi’iyyah berpendapat bahwa untuk ibadah
haji, termasuk dalam wajib muthlaq, karena seseorang boleh melaksanakannya
kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga
dalam pembahasan wajib Muwaqqat, ulama’ syafi’iyyah mengemukakan tentang
persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha.
‘Ada’
menurut Ibnu Hajib adalah melaksanakan suatu amalan untuk pertamakalinya pada
waktu yang diitentukan syara’.
I’adah adalah suautu
amalan yang diekrjakan untuk kedua kalinya untuk waktu yang telah ditentukan, karena
amalan yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung uzur.
Qadha’ adalah suatu
amalan yang dikerjakan dluar waktu yang
telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti. Seperti puasa ramadhan tidak
bisa dikerjakan oleh wanita yang haid pada bulan ramadhan itu, tetapi harus menggantinya
pada waktu lainnya.
Chaerul Uman, dkk menjelaskan pembagian wajib dari segi
waktunya menjadi dua, yaitu:
a. Wajib ‘Alal Far’i
Apabila telah
tercapai semua syarat, wajib segera dilaksanakan tanpa menunda. Seperti,
melaksanakan zakat wajib segera dikueluarkan apabila haul dan nisab sudah terpenuhi.
b. Wajib ‘Alat Tarakhi
Pelaksanaan
kewajiabn itu masih dapat ditunda selama syarat wajibnya tidak akan hilang dari
diri orang yang diwajibkan untuk melakukan perbuatan itu. Seperti haji.
Hukum Wajib dilihat dari
segi orang yang dibebani kewajiban hukum, dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Wajib Aini,
yaitu
kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh berakal
(mukallaf), tanpa kecuali. Misalnya, shalat fardhu lima waktu.
Kaitannya dengan
wajib ‘Ain, muncul suatu pertanyaan di waktu tidak mampu melaksanakan sendiri
atau telah meninggal dunia, apakah bisa gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan
orang lain?. Ulama’ ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga kategori.
1. Wajib yang berhubungan dengan harta, seperti kewajiban membayar zakat atau
kewajiban mengembalikan titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti
ini disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain;
2. kewajiban dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti Shalat dan Puasa. Kewajiban
seperti ini, disepakati tidak bisa digantikan oleh orang lain.; dan
3. kewajiban yang mempnyai dua dimensi, yaitu dimensi ibadah fisik dan dimensi
harta. Dalam hal ini ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah
digantikan orang lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas ulama’ berpendapat Haji
sah digantikan orang lain.
4.
Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan
secara kolektif.
Wajib ditinjau dari segi Kuantitasnya
1.
Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas
kadarnya (jumlahnya).
2.
Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak
ditentukkan batas kadarnya.
Wajib ditinjau dari segi perintahnya
1.
Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah
tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti membayar zakat.
2.
Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat
dipilih dari alternative yang ada. Seperti, membayar kafarat, boleh dengan
member makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian, atau memerdekakan
budak.
2.
Nadb (Sunnah)
Nadb
yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa,
melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya6. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman.
Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari
tuntutan itu disebut nadb.
$ygr'¯»túïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sÎ)LäêZt#ys?AûøïyÎ/#n<Î)9@y_r&wK|¡Bçnqç7çFò2$$sù
Artinya: “ Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untik
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”. (Al-Baqarah: 282).
Sunnah dapat dibagi menjadi
beberapa macam
1.
Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang selalu
dikerjakan oleh Rasul. Seperti, shalat sunnah qobliyah dan ba’diyah yang
mengiringi shalat fardhu lima waktu.
2.
Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak
wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang saja ditinggalkan.
Seperti, puasa setiap hari senin dan kamis.
3.
Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari
Rasul sebagai manusia. Seperti, cara makan, cara tidur, dan cara berpakaian
rasul.
3.
Tahrim
(melarang)
Tahrim yaitu ayat atau hadits yang
melarang secara pasti untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata
lain, Tahrim adalah antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa
sedangkan ditinggalkan mendapat pahala.
Misalnya Allah SWT. berfirman :
Artinya : “ …..Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah
diharamkan Allah…”.
(QS.Al-An’am
: 151)
6. Prof.DR.H.Rachmat Syaf’i , Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka
Setia), hlm. 298
Dan dalam QS. Al-Maidah : 3
Artinya: “Diharamkan bagimu ( memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan
yang disembelih atas nama selain Allah”. (QS. Al-Maidah: 3).
Para ulama’ Ushul Fiqh antara lain Abdul Karim
Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
1.
Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu
yang diharamkan oleh syariat karena
esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu
tidak dapat terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan meminum khamr.
2.
Haram Lighairihi, yaitu sesuatu
yang dilarang bukan karena esensinya karena secara esensial tidak mengandung
kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang karena ada
pertimbangan eksternal yang membawa pada sesuatu yang dilarang secara esensial.
Seperti, larangan berjual beli/ transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.
4.
Karahah
Karahah yaitu ayat atau hadits
yang menganjurkan untuk meningalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain,
Karahah adalah antonim dari Nadb. Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan,
tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa.
Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu
tidak dikenai hukuman.
Seperti hadits Nabi:
Artinya: “ Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Nabi
SAW. Melarang untuk membeli suatu barang yang masih dalam tawaran orang lain
daan melarang seseorang untuk meminang seorang wanita yang ada dalam pinangan
orang lain sampai mendapat izin atau telah dirnggalkannya”. (HR.
al-Bukhari)
Atau hadist Nabi Muhammad SAW :
Artinya : “ Perbuatan halal yang paling dibenci Allah
adalah talak.”
Karahah (Makruh), macam-macamnya
yaitu:
1.
Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila
ditinggalkan akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak
dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum susunya dikala sangat
butuh diwaktu peperangan.
2.
Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar
hukukmnya tidak pasti. Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang sedang dalam
khitbahan orang lain.
5.
Ibahah
Ibahah yaitu ayat atau hadits yang
memberi pilihan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan suatu
perbuatan. Atau dengan kata lain,
dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak mendapat
apa-apa disisi Allah.
Seperti firman
Allah:
Artinya: “…..Apabila kamu telah selelsai melaksanakan ibadah
haji, maka bolehlah kamu berburu.” (QS. Al-Maidah: 2).
Pembagian mubah menurut Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam
kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada tiga macam, yaitu:
1. Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan suatu hal yang mubah, namun
berfungsi mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan
kewajiban-kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam
menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal memilih makanan halal mana yang
akan dimakan. Akan tetapi seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara
makan atau tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam hal ini akan
membahayakan dirinya.
2. Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali, tetapi
haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Seperti, bermain atau mendengarkan
nyanyian hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram
hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan nyanyian.
3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu
yang mubah pula. Mislanya, membeli perabot rumah tangga hanya untuk kepentingan
kesenangan (tersier).
Pada dasarnya, pembagian mubah didasarkan atas
pertimbangan sejauhmana keterkaitannya dengan kemudharatan atau kemanfaatannya.
Sehingga dua pertimbangan tersebut menyebabkan implikasi hukum mubah pada hukum
lain.
Demikian macam-macam hukum
Taklifi serta pembagiannya menurut mayoritas Fuqahah’.
BAB
III
KESIMPULAN
Hukum
Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Hukum Taklifi adalah ketentuan
Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara perintah dan
larangan. Hukum Taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukallaf, yang merupakan aktifitas manusia. Hukum taklifi
erat kaitannya dengan maqaashid syariah yang lima. Yaitu, wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram. Masing-masing dari kelima tersebut memiliki pembagian
ditinjau dari beberapa segi oleh beberapa imam.
Daftar Pustaka
H.Satria Efendi, M.Zein. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Rachmat Syaf’I. 2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CVPustaka Setia
2009
Chairul Uman. 1998. Ushul Fiqh 1. Bandung: CV Pustaka Setia 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komen ya gan :D