Translate

Selasa, 30 April 2013

kaidah ushuliyah



BAB I
PENDAHULUAN

I.                   Latar Belakang
Kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan dan kesusastraan arab. Dengan demikian kaidah ushuliyah itu berkaitan dengan bahasa. Oleh karena itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Jadi,kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Dengan mempelajari dan menguasai kaidah ushuliyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya .

II.                Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dari kaidah Ushuliyah?
2.      Apa saja jenis-jenis kaidah Ushuliyah?
3.      Bagaimana contoh dari jenis kaidah ushuliyah?
 
III.             Tujuan

a.       Memenuhi tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh.
b.      Dapat memahami dan mengetahui kaidah ushuliyah beserta jenis-jenisnya.

BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Qaidah Ushuliyyah
     Qaidah dalam bahsa arab ditulis dengan Qaidah,artinya patokan,pedoman dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i,sebagaimana dikemukakan oleh Mushlih Usman mengartikan qaidah sebagai berikut:
القاعدة:  القضاياالكية التي يندرج تحت كل واحد منها حكم جزأياة كثيرة
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i “.
Demikian pula,dengan Fathi Rdwan yang memaknakan qaidah sebagai berikut:
القاعدة:  حكم كلي ينطبق على جميع جزأياته
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannya.”
Kaidah diartikan pula sebagai hukum yang berlaku untuk sebagian besar yang meliputi sebagian besar bagiannya. Dengan demikian ada dua hal yang dapat ditarik dari pengertian kaidah tersebut ,yaitu:
1.Kaidah adalah hukum yag general atau umum yang melingkupi hukum-hukum khusus,atau dapat diartikan sebagai hukum-hukum yang kulli yang meliputi hukum-hukum yang juz’i.
2. Kaidah adalah hukum yang kebanyakan bersifat umum dan meliputi hukum-hukum yang tergolong bersifat bagian-bagiannya dari yang umum.
Secara etimologi,qaidah adalah asas (dasar) , yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan pondasinya (pokoknya) . Sedangkan secara istilah,para ulama ushul memberikan beberapa definisi :
قضية كلية منطبق على جميع جزأياته
“Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya)”.
قضية كلية يتعرف منهاأحكام جزأياته
“Ketentuan kenyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”
القضايا الكلية التى يعرف بالنظرفيهاقضايا جزأياته
“Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”
الامرالكلي الذي ينطبق على جزأيات كثيرة تفهم أحكامهامنها
“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.”
Adapun ushuliyah berasal dari kata al-ashl , artinya pokok, sebagaimana telah diuraikan dalam pengertian ushul fiqh bahwa makna ushul adalah pokok,dasar,atau dalil sebagai landasan. Dengan demikian,makna qaidah ushuliyah adalah pedoman bentuk menggali dalil syara’ ,titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum. Kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughowiyah.

B.   JENIS-JENIS KAIDAH USHULIYAH
1.      LAFAZH DAN DALALAHNYA
 
2. TAKWIL (MUAWWAL)
A.Pengertian Takwil (Muawwal)
    Secara etimologi,takwil dirujuk dari kata  يؤوّل - أوّل yang berarti At-Tafsir, Al-Marja’, Al-Mashr. Demikian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani yang keterangannya dikemukakan oleh Abu ja’far Al-Thabary (Adib Shalih,1984:356).
Pengertian ini diambil dari hadist :                                                         
ال ولا صام فالا   الدّهر  صام من
Artinya : “Barang siapa yang puasa sepanjang masa,maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada balasannya.”
Di samping itu ,takwil berarti Al-Jaza,seperti firman Allah SWT :
تَأْوِيلًا وَأَحْسَنُ خَيْرٌ ذَٰلِكَ
Artinya : “yang demikian itu,lebih utama dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa : 59)
Dengan demikian,dari sudut bahasa, takwil mengandung arti At-Tafsir (penjelasan,uraian) atau Al-Marja’ (kembali,tempat kembali) atau Al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh,yaitu:

a.       Menurut Wahab Khalaf:
صرف اللفظ عن ظاهر بد لىل

Artinya : “Memalingkan lafazh dari zhahirnya ,karena ada dalil.”

b.      Menurut abu Zarhah: ( Abu Zarhah:130)
اخراج اللفظ عن ظاهر معناه الى منعى اخر يحتمله وليس هوالظاهر فيه

Artinya : “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang dzahir kepada makna lain,tetapi bukan zhahir-nya.”

Apabila diteliti secara seksama pengertian takwil menurut bahasa lebih umum dari pada pengertian khas, amm, atau mutlaq karena lafazh-lafazh tersebut menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qath’i. Dalil qath’i adalah setiap nash yang mempunyai makna secara pasti dan jelas (tanpa ta’wil), baik ditinjau dari segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun dari segi dalalah (penunjukannya).

Penyebab adanya penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat diantaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti hakiki, sehingga dalil hasil takwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain,mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.
C. Dalil-dalil penunjang Takwil
Dalil yang dipakai untuk menguatkan takwil juga disyaratkan harus sesuai dengan ketentuan syara’,di antaranaya,dalil yang memberikan batasan yang terlalu luas terhadap maksud syara’,atau yang memperluas arti haqiqi yang dikandung dalam maksud syara’.
Secara ringkas,dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut:
a.       Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunah
b.      Ijma’.
c.       Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunah
d.      Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan bahwa pembentuk syriat memperhatikan hal-hal yang bersifat juz’I tanpa batas,yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad dengan ra’yu
e.       Hakikat kemaslahatan umum
f.        Adat yang diucapkan dan diamalkan
g.       Hikamah syariat atau tujuan syariat itu sendiri,yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan kemasyarakatan,perekonomian,politik,dan akhlak.
h.       Qiyas
i.         Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu,yang menurut kaum ushuliyyah lebih dikenal dengan takwil qarib.
j.        Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihady,atau ijtihad dengan ra’yu.

D. Dalil Penunjang Takwil tidak disyaratkan Qath’i
Sudah jelas bahwa takwil itu perubahan arti untuk membatasi maksud syara’ dengan dalil sahih,baik yang qath’I maupun zhanni. Maka hikmah syari’at yang bersifat zhanni bisa dipakai dalil dalam ta’wil, di antaranya juga khabar Ahad dan Qiyas.

E. SYARAT-SYARAT TAKWIL
Takwil erat kaitannya dengan maksud syari’at  yang berasal dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil, agar lebih jelas, di bawah ini akan diterangkan  persyaratan takwil tersebut:
a.       Lafadzh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
b.      Takwil itu harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil
1.      Takwil berdasarkan dalil adalah maslahat
2.      Mentaksis keadaan umum dengan kemaslahatan
c.       Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
d.      Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’, karena nash tersebut bagian dari aturan syara’yang umum.
e.       Arti dari penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yang dikuatkan denngan dalil.
F. Takwil Ba’id
Sebagai mana dikatakan diatas, bahwa jika persyaratan tak dapat dipenuhi dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut dinamakan takwil ba’id. Juga jika ada penyimpangan dari persyaratan tadi maka takwil seperti itu di tolak.
3. Khash (Khusus)
a.     Pengertian Khash
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khas. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut memepunyai pengertian yang sama. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan khash, diantaranya:
ان التخصيص العمو ما ت جا ئز
Artinya:   “sesungguhnya pengkhusussan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
الصفة من المخصصات       
                                                          Artinya:    “sifat itu bagian dari pengkhususan.”[1]
هواللفظالموضوع لمعنى واحد معلو م على الا نفر اد
Artinya: “suatu lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum)    dan manunggal.”
Menurut  Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
كل لفظ و ضع لمعنى واحد على الا لانفرادوانقطا ع اللمشا ركة
Artinya:
“setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi diatas, ia mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khas, dan bukan pula bagian dari lafazh ‘amm. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama Syafi’iyah.[2]
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan berpikir, atau bentuk spesies (nau’un), seperti kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan angka-angka (3,5,100, dan seterusnya).
b.      Hukum Dan Contoh Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkina arti lain yang tidak berdasarkan dalil, maka ke-qath’ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Atas dasar itu, maka tsalatsatin pada firman Allah SWT. (Al-Baqarah:196) yang berbunyi:
فمن لم يجد فصىا م ثلا ثة ايا م
Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu artinya tiga. Oleh karena itu dilalah makna-nya adalah qath’iyah, disebabkan karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya (al-wad’ al-Haqiqi).
Selain itu juga terdapat lafazh “nar” dalam firman Allah SWT. yang berbunyi:
ياناركو نى برداوسلا ما ..........
An-nar adalah lafazh khash yang berarti api, namun ternyata mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah makna itu. Tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qath’i-an makna yang termasuk dalam lafazh tersebut.
c.       Macam-Macam Lafazh Khash
Lafazh khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Macam-macam lafazh khash mencakup: mutlaq, muqayyad, amr dan nahyi.
a)      Mutlaq
Apabila lafazh khash memberikan faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya.
b)      Amr
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain.
c)      Nahy
Apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan, ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
4. ‘Amm
a.     Pengertian Lafazh ‘Amm
Pembahasan ‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafazh ’amm mempunyai tingkat yang luas serta menjadi perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber hukum islam pun, Al-Quran dan Sunah, dalam bayak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal.
Lafazh ‘amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[3] 
Sebagaimana pendapat para ulama ushul :
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻮمه ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲ 
“keumuman al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif (mewakili).
Al-‘amm itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya bersifat sebagian. Artinya bahwa kata-kata yang umum mencakup seluruh bagiannya, sebagaimana jika benar seluruhnya, benar pula bagian-bagiannya, sedangkan lafazh umum menunjukkan sebagian hanya berlaku bagi sebagian tersebut, sebagaimana jika benar sebagian, belum tentu benar seluruhnya.[4]

5. AMR (PERINTAH)
a.     Pengertian AMR
Menurut jumhur ulama Ushul, definisi amr adalah lafazzh yang menunukan tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.

b.     Bentuk-bentuk Amr dan Hakikatnya
Para ulama ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini digunkan untuk berbagai macam arti. Al-Amidi menyebutkan sebnayk 5 macam  makna (Al-Amidi, 1968,II:9). Sedangakan Al-Mahalli dalam Syarah Jamu ‘Al-jawami’ menyebutkan sebanyak 26 makna. Demikian pula mereka sepakat bahwa bentuk amr secara hakikat digunakan untuk thalab (tuntutan).

c.     Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan Terus-menerus
Telah dibahas diatas, bahwa sighat amr menunjukan adanya tututan mengerjakan sesuatu pada masa yang akan datang. Apakah amr berdasarkan konteks bahasanya membutuhkan keseinambungan atau tidak?
Dalam hal ini terbagi dalam dua pendapat:
1.      Menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dan berulang-ulang selama masih hidup.
2.      Hal itu tidak menunjukkan kepda mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja, karena hakikat dari perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh golongan pertama:
1.      Pemahaman para ahli bahasa dari hadis Rasulullah SAW. Bahwa Aqra Ibnu Habis bertanya kepada Rasulullah SAW. Tentang salah satu isi khotbahnya, ”sesungguhnya Allah SWT. telah mewajibkan kepada kami semua untuk melaksanakan haji, maka tunaikanlah oleh kaum semua ibadah haji”. Dia bertanya kepada Rasulullah SAW. “Apakah pada tiap-tiap tahun, Ya Rasulullah?”. Rasulullah diam, ehingga ia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “jika aku katakan wajib maka kamu semua tidak mungkin mapu melaksanakannya,haji itu adalah sekali, adapun selebih nya adalah sunah.”
Hadis itu menunjukkan keharusan untuk terus menerus dalam melaksanakan amr. Namun karena yang bertanya itu adalah ahli bahasa, sehingga jika tidak memahaminya sebagai keharusan melaksanakan haji berulang kali, ia tidak mungkin bertanya.
Namun hal itu dibantah oleh golongan kedua, bahwa adaya pengulangan pertanyaan itu karena dia menyangka bahwa adanya pengulangan pertanyaan itu karena dia menyangka bahwa haji itu seperti ibadah-ibadah lainnya yag memerlukan pengulangan. Itu sebabnya dijelaskan oleh Rasulullah SAW. bahwa haji itu hanya diwajibkan sekali saja.
2.      Amr mengandung perwujudan sesuatu yang positif, yakini mewujudkan suatu pekerjaan pada waktu yang akan datang, yang sebelumnya tidak ada. Hal itu bisa terpenuhi dengan sekali melaksanakan, namun harus diulangi sebagai perwujudan melaksanakan kewajiban.

d.     Amr Tidak Menuntut agar dilaksanakan secara langsung
Sesungguhnya amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung atau ditunda-tunda, berdasarkan ketentuan-ketentuan dibawah ini :
1.      Bila amr itu dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila habis waktunya, seperti ibadah puasa.
2.      Bila amr itu memerlukan pelaksanaa secara langsung maka harus dilaksanakan secara langsung. Seperti menolong yang kebakaran atau orang tenggelam.
3.      Bersegera dalam melaksanakan amr adalah sunah, seperti firman Allah SWT. Dalm surat Al-Baqarah : 148

Artinya :  Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

6. NAHYI (LARANGAN)
a.     Pengertian Nahyi
Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari amr, yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan yang mesti dikerjakan) dari tasan kepada bawahan.
Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat digunakan dalam berbagai arti.
b.     Makna Sighat Nahyi
Para ulama ushul sepakat bahwsa hikakt dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah (Abd. Aziz Al-Bukhari : 256).
c.     Nahyi menuntut untuk Meninggalkan secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu menuntut meninggalkan apa yang dilarang sebagaimana disebuytkan dalam firman Allah SWT . surat Al-An’am ayat 151 :
 ...........
Artinya : “Dan  janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak”.
Dengan kata lain janganlah kamu semua menyebabkan seseorang terbunuh. Kata “terbunuh” adalah bentuk nakirah dalam keadaan nahyi. Hal itu sangat umum dan menunjukkan siapa saja yang terbunuh, kapan saja dan dilakukan terus menerus, kecuali jika ada dalil yang men-taksis keumumannya, seperti membunuh dengan hak.
Dengan demikian, jelaslah bahwa larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus menerus, karena pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi. Hal itu merupakan ijma’ dari ulama, masa sahabat dan tabi’in. mereka menetapkan bahwa nahyi itu menuntut agar meninggalkan yang dilarang secara langsung dan terus menerus.

d.     Ihwal Nahyi
Para ulama ushul dalam menjelaskan hal ihwal nahyi menempuh berbagai jalan. Namun, pada garis besarnya, hal ihwal nahyi dapat dikelompokkan dalam beberapa macam :
1.      Nahyi yang melekat pada sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya. Seperti jual beli riba dan larangan puasa pada hari raya.
2.      Nahyi kembali kepada sifat yang berkaitan dengan suatu perbuatan. Tetapi, perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lainnya, seperti larangan shalat di tempat hasil rampasan dan larangan jual beli di waktu shalat jum’at.

7. MUTLAQ DAN MUQAYYAD
a.      Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
            Para ulama ushul memberikan definisi Mutlaq adalah berbagai definisi. Namun semuanya bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud muthlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
            Pula para ulama memberikan definisi muqayyad dengan berbagai definisi. Namun, semuanya bertemu pada satu pengertian, yaitu suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.


b.      Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad
       Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafadz mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafadz muqayyad itu berlaku pada kemuqoyyadannya. Yang menjadi persoalan disini adalah mutlaq dan muqayyad yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
·      Hukum dan sebabnya sama. Disini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad.
·      Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa wajibnya memberlakukan masing-masing lafadz, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
·      Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.

8. MANTUQ DAN MAFHUM
a.    Pengertian Mantuq dan Mafhum
            Suatu lafadz bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut Hanafiyah terbagi dalam empat bagian, yaitu ibarat nash, isayarat nash, dilalah nash dan iqtida, nash. Sedangkan menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.
            Dilalah mantuq ialah petunjuk lafadz pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri. Dilalah mantuq seperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat dan iqtida nash.
            Dilalah mafhum ialah petunjuk lafad pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafadz itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam istilah Hanafiyah disebut dilalah nash.
            Dari definisi mantuq dan mafhum diatas dapat disimpulkan bahwa mantuq dan mafhum ini termasuk mafhul, bukan dilalah. Selanjutnya mafhum terbagi menjadi mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

b.    Dilalah Mafhum
            Dilalah mafhum ini terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
            Mafhum muwafaqah dalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dilalah nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian  bahasa, tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam atau ijtihad. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
            Mafhum muwafaqah disebut pula dengan nama fahwa al-kitab dan lahn al-khitab, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Zaidiyyah. Ibnu As-Subki membedakan pengertian antara keduanya, yang pertama dimaksudkan untuk masalah tak tertulis, yang hukumnya lebih utama dan lebih sesuai daripada hukum bagi masalah tertulis, sedangkan yang terakhir dimaksudkan untuk masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak tertulis. Perbedaan ini disepakati oleh Asy-Syukani.
            Mafhum al-mukhalafah adalah petunjuk lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahirdari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. (lihat Ibnu Al Hajib jild II hal.172, Al-Amidi jilid II: 99, Al-Mahalli, I :245 dan Zakiyuddin Sya’an: 43).
           
c.       Macam-macam Mafhum Mukhalafah
1.    Mafhum Sifat
       Mafhum sifata ialah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukkan berlakunya kebaikan hukum terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang menjadi qayid pada lafadz tersebut.
Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Sifat
Sikap ulama terdapat kehujjahan mafhum sifat dibagi menjadi tiga pendapat
a)    Mafhum sifat dapat dijadikan sebagai hujjah.
Ia dipandang sebagai salah satu cara untuk menggali hukum. Apabila suatu hukum dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak ada apabila sifatnya tidak ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Al-Asy’ary, dan segolongan dari kalangan mutakallimin (Al-Amidi, 1968, II: 103 Asy-Syaukani, 1973,168)
Alasan mereka adalah sebagai berikut:
a.    Para ahli bahasa memakai mafhum sifat
b.    Dicantumkannya suatu sifat dan pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaan.
b)   Mafhum sifat itu tidak dapat dijadikan hujjah karena bukan merupakan suatu metode untuk menetapkan hukum. Apabila suatu hukum dibatasi dengan sifat tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya sifat tersebut. Apabila ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dibatasi dengan sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum sifatnya karena ada dalil lain. Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah. Malikiyah, Al-Ghazali, dan Al-Amidi dari golongan Syafi’iyyah (Al-Amidi, 1968,III: 103).

2.      Mafhum syarat, Adad dan Ghayah
       Seperti telah dijelaskan di muka bahwa ulama yang memakai  mafhum mukhalafah memberikan beberapa syarat, antara lain bahwa pembatasan atau qayyid yang terdapat pada suatu lafadz harus berfungsi. Oleh karena itu, mafhum mukhalafah yang qayidnya berfungsi seperti mafhum syarat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah dapat dijadikan hujjah syara’. Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan alasan kehujjahan mafhum mukhalafah dari sifat. Sedangkan ulama yang tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai hujjah syara’ tetap berpendapat bahwa ketiga macam mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah syara’.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Qaidah ushuliyah adalah pedoman bentuk menggali dalil syara’ ,titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum.

Daftar Pustaka

Syafe’i,Rachmat. Ilmu Usul Fiqih.Bandung: Pustaka setia.2010
Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Ushul Fiqh.Bnadung: Pustaka setia.2012
Saefuddin,Asis. Ilmu Fiqh/Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka karya.2012




[1] Saefuddin,Asis. Ilmu Fiqh/Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka karya.2012hlm 205.
[2] Syafe’I Rachmat, Ilmu Usul Fiqih,2010,hlm 187-192.
[3] hlm.193
[4] hlm.204

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komen ya gan :D