BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang
Kaidah ushuliyah adalah dasar-dasar
pemaknaan terhadap kalimat atau kata yang digunakan dalam teks atau nash yang
memberikan arti hukum tertentu dengan didasarkan kepada pengamatan kebahasaan
dan kesusastraan arab. Dengan demikian kaidah ushuliyah itu berkaitan dengan
bahasa. Oleh karena itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa.
Jadi,kaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum
yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Dengan mempelajari dan menguasai kaidah
ushuliyah dapat mempermudah faqih untuk mengetahui hukum Allah dalam
setiap peristiwa hukum yang dihadapinya .
II.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang diuraikan di atas, dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Apa pengertian
dari kaidah Ushuliyah?
2.
Apa saja jenis-jenis
kaidah Ushuliyah?
3.
Bagaimana contoh
dari jenis kaidah ushuliyah?
III.
Tujuan
a. Memenuhi
tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh.
b. Dapat
memahami dan mengetahui kaidah ushuliyah beserta jenis-jenisnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Qaidah Ushuliyyah
Qaidah dalam bahsa arab ditulis dengan Qaidah,artinya patokan,pedoman
dan titik tolak. Ada pula yang mengartikan dengan peraturan. Bentuk jamak
qa’idah (mufrad) adalah qawa’id. Ahmad Muhammad Asy-Syafi’i,sebagaimana
dikemukakan oleh Mushlih Usman mengartikan qaidah sebagai berikut:
القاعدة: القضاياالكية التي يندرج تحت كل واحد منها حكم
جزأياة كثيرة
Artinya : “Hukum-hukum yang bersifat menyeluruh yang
dijadikan jalan untuk terciptanya masing-masing hukum juz’i “.
Demikian
pula,dengan Fathi Rdwan yang memaknakan qaidah sebagai berikut:
القاعدة: حكم كلي ينطبق على جميع جزأياته
Artinya :
“Hukum-hukum yang bersifat umum yang meliputi bagian-bagiannya.”
Kaidah diartikan pula sebagai hukum
yang berlaku untuk sebagian besar yang meliputi sebagian besar bagiannya.
Dengan demikian ada dua hal yang dapat ditarik dari pengertian kaidah tersebut
,yaitu:
1.Kaidah adalah hukum yag general
atau umum yang melingkupi hukum-hukum khusus,atau dapat diartikan sebagai
hukum-hukum yang kulli yang meliputi hukum-hukum yang juz’i.
2. Kaidah adalah hukum yang
kebanyakan bersifat umum dan meliputi hukum-hukum yang tergolong bersifat
bagian-bagiannya dari yang umum.
Secara etimologi,qaidah adalah asas
(dasar) , yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan
sebagai dasar sesuatu dan pondasinya (pokoknya) . Sedangkan secara istilah,para
ulama ushul memberikan beberapa definisi :
قضية كلية منطبق
على جميع جزأياته
“Ketentuan universal yang
bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-juznya)”.
قضية كلية يتعرف
منهاأحكام جزأياته
“Ketentuan kenyataan universal yang
memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”
القضايا الكلية
التى يعرف بالنظرفيهاقضايا جزأياته
“Ketentuan universal yang bisa
menemukan bagian-bagiannya melalui penalaran.”
الامرالكلي الذي
ينطبق على جزأيات كثيرة تفهم أحكامهامنها
“Ketentuan universal yang bisa
bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara
tersebut.”
Adapun ushuliyah berasal
dari kata al-ashl , artinya pokok, sebagaimana telah diuraikan dalam
pengertian ushul fiqh bahwa makna ushul adalah pokok,dasar,atau dalil
sebagai landasan. Dengan demikian,makna qaidah ushuliyah adalah pedoman
bentuk menggali dalil syara’ ,titik tolak pengambilan dalil atau peraturan yang
dijadikan metode penggalian hukum. Kaidah ushuliyah disebut juga sebagai kaidah
Istinbathiyah atau ada yang menyebut sebagai kaidah lughowiyah.
B.
JENIS-JENIS KAIDAH USHULIYAH
1.
LAFAZH DAN DALALAHNYA
2. TAKWIL
(MUAWWAL)
A.Pengertian Takwil (Muawwal)
Secara
etimologi,takwil dirujuk dari kata يؤوّل
- أوّل yang berarti At-Tafsir, Al-Marja’, Al-Mashr. Demikian pendapat
Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani yang keterangannya dikemukakan oleh Abu
ja’far Al-Thabary (Adib Shalih,1984:356).
Pengertian ini diambil dari hadist
:
ال ولا صام فالا الدّهر صام من
Artinya : “Barang siapa yang puasa sepanjang
masa,maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada balasannya.”
Di samping itu ,takwil berarti Al-Jaza,seperti
firman Allah SWT :
تَأْوِيلًا وَأَحْسَنُ خَيْرٌ ذَٰلِكَ
Artinya : “yang demikian itu,lebih utama dan lebih baik
akibatnya” (Q.S. An-Nisa : 59)
Dengan demikian,dari sudut bahasa, takwil mengandung
arti At-Tafsir (penjelasan,uraian) atau Al-Marja’ (kembali,tempat kembali) atau
Al-Jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan
dengan definisi yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqh,yaitu:
a. Menurut
Wahab Khalaf:
صرف
اللفظ عن ظاهر بد لىل
Artinya
: “Memalingkan lafazh dari zhahirnya ,karena ada dalil.”
b. Menurut
abu Zarhah: ( Abu Zarhah:130)
اخراج
اللفظ عن ظاهر معناه الى منعى اخر يحتمله وليس هوالظاهر فيه
Artinya
: “Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang dzahir kepada makna
lain,tetapi bukan zhahir-nya.”
Apabila
diteliti secara seksama pengertian takwil menurut bahasa lebih umum dari pada
pengertian khas, amm, atau mutlaq karena lafazh-lafazh tersebut
menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qath’i. Dalil qath’i adalah setiap nash yang mempunyai makna secara pasti dan jelas
(tanpa ta’wil), baik ditinjau dari segi asbabul wurud (sebab turunnya), maupun
dari segi dalalah (penunjukannya).
Penyebab adanya penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat
diantaranya karena arti zhahir-nya
tidak sesuai dengan arti hakiki,
sehingga dalil hasil takwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain,mengutamakan
makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’.
C.
Dalil-dalil penunjang Takwil
Dalil
yang dipakai untuk menguatkan takwil
juga disyaratkan harus sesuai dengan ketentuan syara’,di antaranaya,dalil yang memberikan batasan yang terlalu
luas terhadap maksud syara’,atau yang
memperluas arti haqiqi yang dikandung dalam maksud syara’.
Secara
ringkas,dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut:
a. Nash yang diambil dari Al-Qur’an
dan As-Sunah
b. Ijma’.
c. Kaidah-kaidah umum syariat yang
diambil dari Al-Qur’an dan Sunah
d. Kaidah-kaidah fiqih yang menetapkan
bahwa pembentuk syriat memperhatikan hal-hal yang bersifat juz’I tanpa
batas,yang diterima dan diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya
perbedaan dalam berijtihad dengan ra’yu
e. Hakikat kemaslahatan umum
f.
Adat
yang diucapkan dan diamalkan
g. Hikamah syariat atau tujuan syariat
itu sendiri,yang terkadang berupa maksud yang berhubungan dengan
kemasyarakatan,perekonomian,politik,dan akhlak.
h. Qiyas
i.
Akal
yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu,yang menurut kaum ushuliyyah
lebih dikenal dengan takwil qarib.
j.
Kecenderungan
memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan merupakan dasar umum dalam
pembinaan syariat yang bersifat ijtihady,atau ijtihad dengan ra’yu.
D. Dalil Penunjang Takwil tidak disyaratkan Qath’i
Sudah jelas bahwa takwil itu perubahan
arti untuk membatasi maksud syara’ dengan dalil sahih,baik yang qath’I maupun
zhanni. Maka hikmah syari’at yang bersifat zhanni bisa dipakai dalil dalam
ta’wil, di antaranya juga khabar Ahad dan Qiyas.
E. SYARAT-SYARAT TAKWIL
Takwil erat kaitannya dengan maksud syari’at yang berasal dari nash, bukan hanya dengan
dalilnya itu sendiri. hal itu juga termasuk salah satu metode ijtihad dengan
ra’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil, agar lebih jelas, di
bawah ini akan diterangkan persyaratan
takwil tersebut:
a. Lafadzh
yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya.
b. Takwil
itu harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil
1. Takwil
berdasarkan dalil adalah maslahat
2. Mentaksis
keadaan umum dengan kemaslahatan
c. Lafazh
mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa.
d. Takwil
tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’, karena nash
tersebut bagian dari aturan syara’yang umum.
e.
Arti dari
penakwilan nash harus lebih kuat dari arti zhahir, yang dikuatkan denngan
dalil.
F. Takwil
Ba’id
Sebagai mana dikatakan diatas, bahwa jika
persyaratan tak dapat dipenuhi dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut
dinamakan takwil ba’id. Juga jika ada penyimpangan dari persyaratan tadi maka
takwil seperti itu di tolak.
3.
Khash (Khusus)
a. Pengertian Khash
Para ulama ushul berbeda pendapat
dalam memberikan definisi khas. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut
memepunyai pengertian yang sama. Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan khash,
diantaranya:
ان
التخصيص العمو ما ت جا ئز
Artinya: “sesungguhnya
pengkhusussan lafazh umum adalah diperbolehkan.”
الصفة
من المخصصات
هواللفظالموضوع لمعنى واحد معلو م على الا نفر اد
Artinya: “suatu lafazh yang dipasangkan pada
suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan
manunggal.”
Menurut
Al-Bazdawi, definisi khas adalah:
كل
لفظ و ضع لمعنى واحد على الا لانفرادوانقطا ع اللمشا ركة
Artinya:
“setiap lafazh yang dipasangkan pada suatu arti yang
menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”
Dengan definisi diatas, ia
mengeluarkan lafazh mutlaq dan musytarak dari bagian lafazh khas, dan bukan
pula bagian dari lafazh ‘amm. Pendapat ini dipegang pula oleh sebagian ulama
Syafi’iyah.[2]
Cara penunjukan lafazh atas satu
arti ini bisa dalam berbagai bentuk, yaitu bentuk genius, seperti lafazh
insanun dipasangkan pada hewan berpikir, atau bentuk spesies (nau’un), seperti
kata laki-laki dan wanita, atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi
terbatas, seperti bilangan angka-angka (3,5,100, dan seterusnya).
b. Hukum Dan Contoh
Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’
menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang
mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkina arti lain
yang tidak berdasarkan dalil, maka ke-qath’ian dilalah-nya tidak terpengaruhi.
Atas dasar itu, maka tsalatsatin pada firman Allah
SWT. (Al-Baqarah:196) yang berbunyi:
فمن
لم يجد فصىا م ثلا ثة ايا م
Mengandung pengertian khash, yang
tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki
oleh lafazh itu sendiri, yaitu artinya tiga. Oleh karena itu dilalah makna-nya
adalah qath’iyah, disebabkan karena tidak ada dalil yang memalingkan dari
masalah haqiqi-nya (al-wad’ al-Haqiqi).
Selain itu juga terdapat lafazh “nar” dalam firman
Allah SWT. yang berbunyi:
ياناركو
نى برداوسلا ما ..........
An-nar adalah lafazh khash yang
berarti api, namun ternyata mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah
makna itu. Tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak berpengaruh
sedikitpun terhadap ke-qath’i-an makna yang termasuk dalam lafazh tersebut.
c. Macam-Macam
Lafazh Khash
Lafazh khash itu bentuknya banyak,
sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri.
Macam-macam lafazh khash mencakup: mutlaq, muqayyad, amr dan nahyi.
a) Mutlaq
Apabila
lafazh khash memberikan faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada
dalil yang membatasinya.
b) Amr
Apabila
lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa
hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang
memalingkannya pada makna yang lain.
c) Nahy
Apabila
lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan, ia memberikan faedah berupa hukum
haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang
memalingkannya dari hal itu.
4.
‘Amm
a.
Pengertian
Lafazh ‘Amm
Pembahasan
‘amm dalam ilmu ushul fiqih mempunyai kedudukan tersendiri, karena lafazh ’amm
mempunyai tingkat yang luas serta menjadi perdebatan pendapat ulama dalam
menetapkan hukum. Di lain pihak, sumber hukum islam pun, Al-Quran dan Sunah,
dalam bayak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal.
Lafazh
‘amm adalah suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh
satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.[3]
Sebagaimana
pendapat para ulama ushul :
ﺍﻠﻌﺎﻡ ﻋﻤﻮمه
ﺸﻤﻮﻠﻲّ ﻮﻋﻤﻮﻡﺍﻠﻤﻄﻠﻕ ﺒﺩ ﻠﻲ
“keumuman
al-‘Aam bersifat menyeluruh dan keumuman al-Muthlaq bersifat resperentif
(mewakili).”
Al-‘amm
itu umumnya bersifat menyeluruh, sedangkan lafazh umum yang mutlak hanya
bersifat sebagian. Artinya bahwa kata-kata yang umum mencakup seluruh bagiannya,
sebagaimana jika benar seluruhnya, benar pula bagian-bagiannya, sedangkan
lafazh umum menunjukkan sebagian hanya berlaku bagi sebagian tersebut,
sebagaimana jika benar sebagian, belum tentu benar seluruhnya.[4]
5.
AMR (PERINTAH)
a. Pengertian AMR
Menurut jumhur ulama Ushul, definisi
amr adalah lafazzh yang menunukan tuntutan dari atasan kepada
bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
b. Bentuk-bentuk Amr dan Hakikatnya
Para
ulama ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini digunkan untuk
berbagai macam arti. Al-Amidi menyebutkan sebnayk 5 macam makna (Al-Amidi, 1968,II:9). Sedangakan
Al-Mahalli dalam Syarah Jamu ‘Al-jawami’ menyebutkan sebanyak 26 makna.
Demikian pula mereka sepakat bahwa bentuk amr secara hakikat digunakan
untuk thalab (tuntutan).
c. Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan Terus-menerus
Telah
dibahas diatas, bahwa sighat amr menunjukan adanya tututan mengerjakan
sesuatu pada masa yang akan datang. Apakah amr berdasarkan konteks
bahasanya membutuhkan keseinambungan atau tidak?
Dalam hal ini terbagi dalam dua
pendapat:
1. Menunjukkan
tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dan berulang-ulang selama masih hidup.
2.
Hal itu tidak
menunjukkan kepda mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja, karena hakikat dari
perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.
Diantara argumen yang dikemukakan oleh golongan
pertama:
1. Pemahaman
para ahli bahasa dari hadis Rasulullah SAW. Bahwa Aqra Ibnu Habis bertanya
kepada Rasulullah SAW. Tentang salah satu isi khotbahnya, ”sesungguhnya
Allah SWT. telah mewajibkan kepada kami semua untuk melaksanakan haji, maka
tunaikanlah oleh kaum semua ibadah haji”. Dia bertanya kepada Rasulullah
SAW. “Apakah pada tiap-tiap tahun, Ya Rasulullah?”. Rasulullah diam,
ehingga ia mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW
bersabda, “jika aku katakan wajib maka kamu semua tidak mungkin mapu
melaksanakannya,haji itu adalah sekali, adapun selebih nya adalah sunah.”
Hadis
itu menunjukkan keharusan untuk terus menerus dalam melaksanakan amr. Namun
karena yang bertanya itu adalah ahli bahasa, sehingga jika tidak memahaminya
sebagai keharusan melaksanakan haji berulang kali, ia tidak mungkin bertanya.
Namun
hal itu dibantah oleh golongan kedua, bahwa adaya pengulangan pertanyaan itu
karena dia menyangka bahwa adanya pengulangan pertanyaan itu karena dia
menyangka bahwa haji itu seperti ibadah-ibadah lainnya yag memerlukan
pengulangan. Itu sebabnya dijelaskan oleh Rasulullah SAW. bahwa haji itu hanya
diwajibkan sekali saja.
2. Amr mengandung perwujudan
sesuatu yang positif, yakini mewujudkan suatu pekerjaan pada waktu yang akan
datang, yang sebelumnya tidak ada. Hal itu bisa terpenuhi dengan sekali
melaksanakan, namun harus diulangi sebagai perwujudan melaksanakan kewajiban.
d. Amr Tidak Menuntut agar dilaksanakan secara langsung
Sesungguhnya
amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung atau
ditunda-tunda, berdasarkan ketentuan-ketentuan dibawah ini :
1. Bila
amr itu dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut bila habis
waktunya, seperti ibadah puasa.
2. Bila
amr itu memerlukan pelaksanaa secara langsung maka harus dilaksanakan
secara langsung. Seperti menolong yang kebakaran atau orang tenggelam.
3. Bersegera
dalam melaksanakan amr adalah sunah, seperti firman Allah SWT. Dalm
surat Al-Baqarah : 148
Artinya : Dan
bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.
6.
NAHYI (LARANGAN)
a. Pengertian Nahyi
Menurut
ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari amr,
yakni lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan
yang mesti dikerjakan) dari tasan kepada bawahan.
Namun,
para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat
digunakan dalam berbagai arti.
b. Makna Sighat Nahyi
Para ulama ushul sepakat
bahwsa hikakt dalalah nahyi adalah untuk menuntut meninggalkan sesuatu,
tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada suatu qarinah (Abd. Aziz
Al-Bukhari : 256).
c. Nahyi menuntut untuk Meninggalkan secara Langsung
Sesungguhnya nahyi itu
menuntut meninggalkan apa yang dilarang sebagaimana disebuytkan dalam firman
Allah SWT . surat Al-An’am ayat 151 :
...........
Artinya : “Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan hak”.
Dengan kata lain janganlah kamu
semua menyebabkan seseorang terbunuh. Kata “terbunuh” adalah bentuk nakirah
dalam keadaan nahyi. Hal itu sangat umum dan menunjukkan siapa saja yang
terbunuh, kapan saja dan dilakukan terus menerus, kecuali jika ada dalil yang
men-taksis keumumannya, seperti membunuh dengan hak.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
larangan itu membutuhkan pelaksanaan secara langsung dan terus menerus, karena
pelaksanaan secara terus-menerus dan langsung termasuk dilalah nahyi. Hal
itu merupakan ijma’ dari ulama, masa sahabat dan tabi’in. mereka
menetapkan bahwa nahyi itu menuntut agar meninggalkan yang dilarang
secara langsung dan terus menerus.
d. Ihwal Nahyi
Para ulama ushul
dalam menjelaskan hal ihwal nahyi menempuh berbagai jalan. Namun,
pada garis besarnya, hal ihwal nahyi dapat dikelompokkan dalam beberapa macam :
1. Nahyi yang melekat pada
sesuatu yang dilarang, bukan pada pokoknya. Seperti jual beli riba dan larangan
puasa pada hari raya.
2. Nahyi kembali kepada sifat
yang berkaitan dengan suatu perbuatan. Tetapi, perbuatan itu bisa terpisah dari
perbuatan yang lainnya, seperti larangan shalat di tempat hasil rampasan dan
larangan jual beli di waktu shalat jum’at.
7. MUTLAQ
DAN MUQAYYAD
a. Pengertian
Mutlaq dan Muqayyad
Para ulama ushul memberikan definisi
Mutlaq adalah berbagai definisi. Namun semuanya bertemu pada suatu pengertian
bahwa yang dimaksud muthlaq ialah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu
tanpa pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Pula para ulama memberikan definisi
muqayyad dengan berbagai definisi. Namun, semuanya bertemu pada satu
pengertian, yaitu suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi
dengan suatu pembatasan yang mempersempit keluasan artinya.
b. Hukum Lafadz
Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa
hukum lafadz mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil
yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafadz muqayyad itu berlaku
pada kemuqoyyadannya. Yang menjadi persoalan disini adalah mutlaq dan muqayyad
yang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada yang
diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
· Hukum
dan sebabnya sama. Disini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafadz
mutlaq kepada muqayyad.
· Hukum
dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa wajibnya
memberlakukan masing-masing lafadz, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan
muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
· Hukumnya
berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa
tidak boleh membawa lafadz mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku
pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
8. MANTUQ
DAN MAFHUM
a. Pengertian
Mantuq dan Mafhum
Suatu lafadz bila ditinjau dari cara
menunjukkan suatu makna, menurut Hanafiyah terbagi dalam empat bagian, yaitu
ibarat nash, isayarat nash, dilalah nash dan iqtida, nash. Sedangkan menurut
Syafi’iyah terbagi dalam mantuq dan mafhum.
Dilalah mantuq ialah petunjuk lafadz
pada hukum yang disebut oleh lafadz itu sendiri. Dilalah mantuq seperti ini
mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah Hanafiyah, yaitu ibarat,
isyarat dan iqtida nash.
Dilalah mafhum ialah petunjuk lafad
pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh lafadz itu sendiri, melainkan
datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam istilah Hanafiyah disebut
dilalah nash.
Dari definisi mantuq dan mafhum
diatas dapat disimpulkan bahwa mantuq dan mafhum ini termasuk mafhul, bukan
dilalah. Selanjutnya mafhum terbagi menjadi mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
b. Dilalah Mafhum
Dilalah mafhum ini terbagi menjadi
dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Mafhum muwafaqah dalam istilah ulama
Hanafiyah disebut juga dilalah nash, yaitu suatu petunjuk kalimat yang
menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah
yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang
tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui
dengan pengertian bahasa, tanpa
memerlukan pembahasan yang mendalam atau ijtihad. Disebut mafhum muwafaqah
karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaqah disebut pula dengan
nama fahwa al-kitab dan lahn al-khitab, sebagaimana dikemukakan oleh ulama
Zaidiyyah. Ibnu As-Subki membedakan pengertian antara keduanya, yang pertama
dimaksudkan untuk masalah tak tertulis, yang hukumnya lebih utama dan lebih
sesuai daripada hukum bagi masalah tertulis, sedangkan yang terakhir
dimaksudkan untuk masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang
tidak tertulis. Perbedaan ini disepakati oleh Asy-Syukani.
Mafhum al-mukhalafah adalah petunjuk
lafadz yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafadz itu berlaku bagi
masalah yang tidak disebutkan dalam lafadz itu, yang hukumnya bertentangan
dengan hukum yang lahirdari mantuq-nya, karena tidak adanya batasan (kayd) yang
berpengaruh dalam hukum. (lihat Ibnu Al Hajib jild II hal.172, Al-Amidi jilid
II: 99, Al-Mahalli, I :245 dan Zakiyuddin Sya’an: 43).
c.
Macam-macam
Mafhum Mukhalafah
1.
Mafhum
Sifat
Mafhum sifata ialah petunjuk yang
dibatasi oleh sifat, menunjukkan berlakunya kebaikan hukum terhadap yang tidak
disebutkan, karena tidak terdapat sifat yang menjadi qayid pada lafadz
tersebut.
Pendapat
Para Ulama tentang Mafhum Sifat
Sikap
ulama terdapat kehujjahan mafhum sifat dibagi menjadi tiga pendapat
a) Mafhum
sifat dapat dijadikan sebagai hujjah.
Ia
dipandang sebagai salah satu cara untuk menggali hukum. Apabila suatu hukum
dikaitkan dengan suatu sifat maka hukum itu tidak ada apabila sifatnya tidak
ada. Pendapat ini dipegang oleh Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal,
Al-Asy’ary, dan segolongan dari kalangan mutakallimin (Al-Amidi, 1968, II: 103
Asy-Syaukani, 1973,168)
Alasan
mereka adalah sebagai berikut:
a.
Para ahli bahasa
memakai mafhum sifat
b.
Dicantumkannya
suatu sifat dan pembatasan suatu kalimat pasti mempunyai kegunaan.
b) Mafhum
sifat itu tidak dapat dijadikan hujjah karena bukan merupakan suatu metode
untuk menetapkan hukum. Apabila suatu hukum dibatasi dengan sifat tidak berarti
bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya sifat tersebut. Apabila ternyata ada
suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dibatasi dengan sifat, hal ini
tidak berarti hukum itu diambil dari mafhum sifatnya karena ada dalil lain.
Pendapat ini dipegang oleh golongan Hanafiyah. Malikiyah, Al-Ghazali, dan
Al-Amidi dari golongan Syafi’iyyah (Al-Amidi, 1968,III: 103).
2. Mafhum syarat,
Adad dan
Ghayah
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa
ulama yang memakai mafhum mukhalafah
memberikan beberapa syarat, antara lain bahwa pembatasan atau qayyid yang
terdapat pada suatu lafadz harus berfungsi. Oleh karena itu, mafhum mukhalafah
yang qayidnya berfungsi seperti mafhum syarat, mafhum ‘adad, dan mafhum ghayah
dapat dijadikan hujjah syara’. Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan
alasan kehujjahan mafhum mukhalafah dari sifat. Sedangkan ulama yang tidak
memandang mafhum mukhalafah sebagai hujjah syara’ tetap berpendapat bahwa
ketiga macam mafhum mukhalafah tersebut tidak dapat dijadikan hujjah syara’.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Qaidah ushuliyah adalah
pedoman bentuk menggali dalil syara’ ,titik tolak pengambilan dalil atau
peraturan yang dijadikan metode penggalian hukum.
Daftar Pustaka
Syafe’i,Rachmat. Ilmu Usul Fiqih.Bandung:
Pustaka setia.2010
Ahmad Saebani, Beni. Ilmu Ushul Fiqh.Bnadung:
Pustaka setia.2012
Saefuddin,Asis. Ilmu
Fiqh/Ushul Fiqh.Bandung: Pustaka karya.2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komen ya gan :D