Translate

Selasa, 30 April 2013

pilihan hukum



BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang
Ilmu merupakan pondasi luhur manusia dalam memperoleh tingkatan drajat yang lebih mulia dalam kehidupan dunia maupun akherat. Tanpa ilmu, seorang manusia bagaikan orang buta yang kehilangan tongkatnya. Mempelajari ilmu Fiqh menjadi sebuah sarana manusia dalam mencari sebuah titik terang dalam menjalani kehidupan di dunia baik dalam wujud ibadah maupun muamalah, dengan ekspektasi datangnya keRidhoan Allah yang akan menyertainya pada kebahagiaan yang hakiki.
Kajian pokok ilmu Fiqh tentunya berasaskan dari sumber hukum islam yaitu tekstual langsung berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah Nabi serta non tekstual seperti halnya qiyas yang hakikatnya diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.[1] Sehingga mengkaji ilmu Fiqh menjadi kewajiban kita demi menjalani kehidupan yang selaras dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Oleh karena itu, dalam pemilihan suatu hukum tidaklah dikatakan sah hukum tersebut jika bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pada kesempatan ini, dalam menghadapi era kehidupan yang begitu kompleks kewajiban kita sebagai umat islam untuk senantiasa menyertai kehidupan dengan landasan hukum keislaman yang falid. Diharapkan pembaca mengetahui secara jelas tentang pilihan hukum islam semoga dengan mengetahui itu semua, segala sesuatunya yang kita kerjakan mendapat Ridho Allah SWT.
I.II Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan hukum islam ?
2.    Apa saja yang tergolong dalam sumber hukum ?
3.    Apa isi pokok dari hukum islam ?
4.    Bagaimana seorang muslim memilih hukum ang diaktualisasikan dalam kehidupannya ?
5.    Bagaimana ciri khas imam-imam yang memberikan empat mazdhab dalam islam ?

I.III Tujuan Penulisan
1.    Memahami pengertian hukum, hukum-hukum dalam islam dan sumber hukum islam.
2.    Mengidentifikasi isi pokok dari hukum islam.
3.    Mengetahui konsep dari empat madzhab fiqh.
4.    Memahami kajian empat madzhab dan menetapkan pilihan hukum dalam kehidupan.


BAB II
PEMBAHASAN
II.I Pengertian Hukum Islam
Definisi hukum islam pada umumnya disamakan dengan syariat islam, dalam hal ini biasa disebut syara’.  Secara etimologi, syariat berarti jalan, sedangkan dari segi bahasa syariat bisa bermakna sebagai hukum yang diadakan oleh Allah SWT.[2] Sehubungan dengan pengertian syariat, Prof. Mahmoud Syaltout berpendapat bahwa syariat merupakan peraturan yang diciptakan Allah agar manusia berpegang teguh kepada-Nya dalam hubungan dengan Tuhan, saudara sesama muslim, sesama umat manusia serta dengan seluruh dan kehidupan. Muhammad Ali Attahanawi memberikan pengertian syariat sebagai cakupan seluruh ajaran islam yang meliputi berbagai bidang, seperti ibadah, muamalah, akhlak dan akidah.
II.II Hukum-hukum dalam Islam
Islam mempunyai hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perbuatan yang mengandung suatu keharusan atau boleh memiliki atau mengandung wadla’, yakni mengandung isyarat tentang adanya suatu hukum. Adapun hukum Islam itu berlaku bagi orang dewasa (mukallaf) atau orang yang sudah baligh, yakni sudah cukup umur, berakal sehat dan sudah menerima seruan agama semenjak ia berumur 9 tahun, bagi pria dan wanita bila sudah bermimpi basah (tanda dewasa). Umur 9 tahun bagi wanita yang sudah haidh, sedang untuk pria dan wanita yang belum bermimpi ataupun haidh tapi ia sudah berumur 15 tahun maka sudah termasuk usia baligh.
Adapun hukum-hukum dalam Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
  1. Wajib. Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, dan Zakat.
  2. Mandud atau Sunnah. Mandud atau sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum mandud atau sunnah ialah  shalat yang dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu.
  3. Haram. Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah membunuh, mabuk, judi, dan sebagainya.
  4. Makruh. Perbuatan makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah memakai sutra atau cincin emas bagi laki-laki.
  5. Mubah. Ada yang mengartikan bahwa mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah makan, minum, bermain yang sehat dan sebagainya.
II.III Sumber Hukum Islam
1.      Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber fiqh yang pertama dan paling utama. Landasan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama adalah sebagai berikut:
QS. Al-Isra ayat 9

Artinya:  Sesungguhnya Al Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar
Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, dan membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.[3]
2.    As-Sunnah
As-Sunnah sering disamakan dengan hadis.  As-Sunnah adalah berupa perbuatan, perkataan atau diamnya Nabi SAW yang bisa jadi dasar hukum. Oleh karena itu, ada sunnah Fi’liyah, sunnah Qawliyah, dan sunnah Taqririyah. Sunnah yang terakhir bisa terjadi apabila sahabat berbuat atau berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi beliau diam tidak memberikan komentar apa-apa.
As-Sunnah merupakan sumebr hukum kedua setelah Al-Quran, didasarkan kepada QS. An-Nisa ayat 64

Artinya: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizing Allah”


3.    Al-Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid atau ulama umat Nabi Muhammad SAW dalam suatu masa setelah wafat beliau atas suatu hukum tertentu. Yang dimaksud dengan kata “umat Nabi Muhammad SAW adalah ijma’-nya para mujtahid umat Muhammad yang sekaligus mengecualikan kesepakatan para mujtahid yang bukan umat Muhammad SAW misalnya umat Nabi Isa, umat Nabi Musa, dsb. Selanjutnya jika mereka telah mensepakati masalah hukum tersebut, maka hukum itu menjadi aturan agama yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Contoh : Ijma’ para sahabat Nabi SAW dimasa Sayyidina Umar r.a dalam menegakkan sholat tarawih. Selain itu, Penetapan awal ramadhan dan syawal berdasarkan ru’yatul hilal, Nenek mendapat harta 1/6 dari cucunya, Hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak & ayah yang masih hidup.
4.    Al-Qiyas
Qiyas berasal dari kata “qasa, yaqisu, qaisan” artinya mengukur dan ukuran. Kata qiyas diartikan ukuran sukatan, timbangan atau pengukuran sesuatu dengan yang liannya atau penyamaan sesuatu dengan sejenisnya. Jadi, Qiyas ialah persamaan hukum sesuatu yang tidak ada dalilnya dengan hukum sesuatu yang ada dalilnya dikarenakan hampir bersamaan atau karena adanya persamaan hukum. Jumhur ulama muslimin bersepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah syar’i dan selanjutnya menjadi sumber hukum. Contoh : Allah telah mengharamkan Khamar (arak ) karena merusak akal, membinasakan badan, menghabiskan harta. Maka segala minuman yang memabukkan hukumnya haram di Qiyaskan dari khamar (arak). Rasulullah telah mewajibkan zakat ternak unta, sapi dan kambing. Maka segala hewan ternak yang sejenis hewan tersebut diatas maka wajib dizakatkan. Contohnya : Kerbau wajib dizakatkan di Qiyaskan dari sapi.
5.    Al-Ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah :”Mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nila-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-nilai syariah”. Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada pada nya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya, dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkan merupakan hukum yang benr, baik indah, dan bijaksana. Hal ini sudah tentu tidaklah mudah. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang menentukan hanya beberapa syarat saja.

II.IV Isi Pokok Hukum Islam
1.    Perintah
Dalam perintah, ada yang bersifat keras yang disebut Wajib dan yang bersifat dianjurkan yaitu Sunnah.
Wajib, yaitu perintah yang mesti dikerjakan. Jika perintah tersebut dipatuhi (dikerjakan) mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka ia berdosa. Contohnya saja hal yang paling sering kita jumpai dalam kehidpan sehari-hari, yaitu shalat fardlu. Dalam Al-Quran telah di sebutkan bahwa melaksanakan shalat adalah wajib bagi setiap muslim yang telah baligh, berakal (mukallaf).
Sedangkan sunat/sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Misalnya puasa sunat hari Senin dan Kamis. Puasa hari senin dan kamis tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan. Seseorang yang melaksanakan puasa hasri senin dan kamis akan mendapatlan pahala dari Allah SWT. sedangkan apabila tidak mengerjakannya maka tidak mendapat pahala dan juga tidak berdosa.
2.    Larangan
Sama halnya dengan perintah, dalam larangan ada yang bersifat keras yang disebut dengan Haram dan yang bersifat biasa yaitu makruh.
Haram, yaitu larangan keras. Jika dikerjakan berdosa dan jika tidak dikerjakan (ditinggalkan) mendapat pahala. Contohnya adalah memakan daging babi.[4]
Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala. Contohnya adalah memakan petai.
3.      Pilihan
Dalam pilihan, ada Mubah. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula di tinggalkan. Kalau dikerjakan, tidak berpahala dan tidak pula berdosa; kalau ditinggalkan, tidak berpahala dan tidak pula berdosa.
II.V Pilihan Hukum Umat Islam dalam Mengaktualisasikan Keislamannya
Dahulu para ulama menghadapi berbagai persoalan apabila mereka tidak menemukan ayat atau hadits, maka mereka berijtihad untuk menetapkan hukum. Hukum yang di tetapkan oleh seseorang berdasarkan ijtihadnya itulah yang disebut madzhabnya. Sebenarnya madzhab fiqih dalam Islam bukan hanya empat, namun ada beberapa macam. Hasan Basri, Ast-Laisi dan lain-lain. Madzab-madzab mereka itu tidak berkembang pesat seperti madzab yang empat, mungkin disebabkan oleh berkurangnya pendukung mereka setelah ditinggalkan oleh penyusunannya. Sedangkan madzab yang empat sampai sekarang masih terus mendapat dukungan para ulama dan kaum muslimin. Ribuan kitab yang telah disusun berdasarkan madzab-madzab itu.

1. Madzab Hanafi
Madzab Hanafi diperoleh oleh Imam Abu Hanifah yang dilahirkan pada tahun 80 Hijrah dan meninggal di Baghdad pada tahun 150 Hijriah. Semenjak belajar di Kufah beliau telah menyusun madzabnya. Beliau amat mahir dalam ilmu fiqih khususnya pandai berinstinbat hukum dalam Al Qur'an dan hadits. Kemudian beliau tinggal di Baghdad dan memberikan penerangan tentang hukum Islam di Baghdad berdasarkan ijtihadnya kepada kaum muslimin. Pada perkembangan berikutnya, beberapa orang murid sekaligus sahabat beliau kembali mengadakan penelitan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah dengan memperhatikan kondisi, manfaat dan madharatnya sehingga diantara mereka ada yang tidak sepakat dengan pendapat Imam Abu Hanifah.

2. Madzab Malik
Madzab Malik di pelopori oleh MAlik bin Anas Al Asbahi yang lahir pada tahun 93 Hijriyah dan wafat pada bulan Safar tahun 170 Hijriyah. Beliau kemudian belajar di Madinah dan menyusun sebuah hadits Al Muwaththa yang terkenal sampai sekarang atas anjurannya Khalifah Mansyur, Ketika beliau bertemu saat ibadah Haji. Madzab Malik mengambil dasar Al Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Namun qiyas beliau gunakan untuk hal-hal yang sangat terbatas saja, karena beliau adalah seorang ahli hadits. imasa itu, beliau amat berpengaruh di daerah Hijaz sehingga mendapat julukan "Sayyid Fuqoha Al Hijaz". Beberapa murid beliau yang terkenal diantaranya adalah Muhammad bin Idris bin Syafi'i(Imam Syafi'i), Al Laisy bin Sa'ad dan Abu Ishaq Al Farazi. Pengikut madzhab Maliki yang paling banyak di Turisia, Tripoli, Mesir dan Maghribi.

3. Madzhab Syafi'i
Madzhab Syafi'i pelopori oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'i keturunan bangsa Quraisy. Beliau lahir di Khuzzah pada tahun 150 Hijriyah dan meninggal di Mesir pada tahun 240 Hijriyah, di usia 7 tahun beliau dapat menghafal Al Qur'an dan di usia 10 tahun beliau telah hafal Al Muwaththa',kitab susunan sang guru (Imam Malik).Dan pada usia 20 tahun beliau telah diizinkan oleh guru beliau Muslim bin Khalid untuk berfatwa. Beliau juga amat pandai dalam segala pengetahuan.
Pada usia 20 tahun itu juga mendengar tentang kebesaran Imam Malik akan ilmu fiqih dan hadits. Oleh sebab itu, beliau pergi ke Madinah intuk belajar kepada Imam Malik. Selanjutnya beliau juga pergi ke Irak dan bergaul dengan sahabat-sahabat Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau juga pergi ke Parsi. Dua tahun lamanya beliau menempuh perjalanan ini.
Dalam perjalanan ini beliau banyak sekali menjumpai berbagai adat, karakter dan kebiasaan masyarakat yang amat majemuk dan ini sangat penting bagi beliau dalam rangka mempertimbangkan penentuan hukum Islam. Kemudia Raja Harun Al Rasyid meminta beliau agar tetap tinggal di Baghdad. Imam Asy-Syafi'i lalu tinggal di Baghdad dan menyebarkan agama serta pendapat-pendapat beliau kepada masyarakat.
Beliau memiliki pergaulan yang amat luas dengan semua golongan dan lapisan masyarakat, baik rakyat, pemerintah atau para ulama termasuk para sahabat Imam Abu Hanifah sehingga hal itu mendorong beliau untuk mengeluarkan pendapatnya yang pertama. Lalu beliau kembali ke Makkah hingga tahun 198 Hijriyah. Pada tahun ini pula beliau pergi ke Mesir dan meyusun pendapat baru. Pengikut madhzab Syafi'i banyak tersebar di Kurdistan, Mesir, Aden, Yaman, Hadramaut, Makkah, Pakistan, dan Indonesia.

4. Madhzab Hanbali
Madzab Hanbali dipelopori oleh Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal yang di lahirkan di Baghdad dan meninggal pada hari Jumat tabggal 12 Rabiul Awal Tahun 241 Hijriyah. Sejak kecil beliau telah belajar di Baghdad, Syam, Hijaz dan Yaman. Beliau adalah salah seorang murid Imam Syafi'i yang pandai. Diantara murid beliau yang terkenal adalah Bukhari dan Muslim.[5]
Beliau menyusun madzhabnya berdasarkan empat dasar yakni Al Qur'an dan hadits, fatwa sahabat paling mendekati kitab dan sunnah), hadits mursal/lemah apabila tidak bertentangan dengan dalil-dalillain dan qias sebagai jalan terakhir.
Dengan mengeluarkan fatwa, beliau sengat berhati-hati apabila tidak ada nas sahabat. Oleh sebab itu mengapa madzhab ini sangat lambat perkembangannya. Mula-mula madzhab ini tersiar di Baghdad, kemudian Hijaj dan selanjutnya raja Ibnu Saud mengumumkan bahwa madhzab resmi pemerintah Arab Saudi. Di Mesir tidak tampak madhzab ini kecuali pada abad ke-7. Hingga sekarang tidak banyak rakyat Mesir yang mengikuti madzhab ini.






BAB III
PENUTUP
III.I Kesimpulan
A.     Definisi hukum islam pada umumnya disamakan dengan syariat islam, dalam hal ini biasa disebut syara’.  Secara etimologi, syariat berarti jalan, sedangkan dari segi bahasa syariat bisa bermakna sebagai hukum yang diadakan oleh Allah SWT.
B.     Adapun hukum-hukum dalam Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut : Wajib, Mandud atau Sunnah, Haram, Makruh,Mubah.
C.     Adapun sumber hukum dalam Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut : Al-Qur’an, AS-Sunnah, Ijma’,Qiyas, Ijtihad.
D.     Adapun isi pokok hukum dalam Islam secara garis besarnya adalah sebagai berikut : perintah, larangan, dan pilihan.
E.      Adapun pilihan hukum dengan madzab yang empat dalam Islam adalah sebagai berikut : madzab hanafi, Madzab syafii’, madzab maliki, madzab hanbali.
F.      Dalam konsep pemahaman pilihan hukum dalam islam. Maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengetahui akan kaidah utama dalam kajian ilmu fiqh, yaitu pembahasan mengenai hakikat hukum islam, macam-macam hukum dalam islam, sumber hukum islam, serta isi pokok hukum islam. Setelah itu, konseptual dalam aktualisasi keislaman tidak hanya cukup dari pemahaman komponen-komponen tersebut, melainkan perlu contoh dari madzab-madzab yang ada dari empat imam terkemuka yang tentunya sudah teruji kevalidan hukum yang ditetapkannya.

III.II Saran
Untuk mengkaji Islam secara kaaffah dan menentukan pilihan hukum yang baik dalam mengaktualisasikan keislaman dalam hidup tentunya membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai kajian ilmu-ilmu fiqh. Oleh karena itu, kami menyarankan pembaca agar tidak puas dan mau mengoreksi apa yang telah kami tulis dalam makalah ini. Sehingga ilmu pengetahuan kita tentang fiqh menjadi bertambah dan pemahaman kita menjadi semakin mendalam. Selain itu, wujud kritik dan saran pembaca menjadi motivasi kami dalam menuliskan sebuah karya ilmiah yang lebih baik lagi.
Kami harap pembaca mau lebih dalam mengkaji ilmu tentang pilihan hukum ini, karena hal ini sangatlah berpengaruh pada kehidupan kita di dunia yang akan berdampak tentunya pada kehidupan kita di akhirat.




[1] Amir Syarifuddin., Ushul Fiqih 2, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 1
[2]  Amir Syarifuddin., Ushul Fiqih12, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999, hal. 281
[3]  Syahrul Anwar., Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqih, Bogor: PT Galia Indonesia, 2010, hal.84
[4]  Sulaiman Rasyid.,  Fiqih Islam, Jakarta: PT Sinar Baru, 1986, hal. 1
[5] Sulaiman Rasyid.,  Fiqih Islam, Jakarta: PT Sinar Baru, 1986, hal. 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komen ya gan :D