BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar
belakang
Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman dalam
mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits, kaidah
FIQHIYAH merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam
peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai
Kaidah Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-istimbath-kan
hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia. Sementara Imam
Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah
adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan
serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Yang menjadi sorotan utama dalam makalah ini adalah:
1. Hakikat dan
defenisi kaidah fiqhi
2. Aplikasi
dalam kehidupan sehari-hari dari qaidah-qaidah tersebut
3. Sumber-sumber
qaidah tersebut di ambil
1.3tujuan
penulisan makalah ini antara lain:
1. bentuk
penyelesaian tugas mata kuliah usul fiqh
2. menjelaskan
qaidah-qaidah pokok secara jelas
3. mengetahui
penerapan secara benar dalam beribadah
1.4 manfaat penulisan
kami
berharap makalah ini mampu menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai qaidah-qaidah fiqhiyahdan mengetahui
penerapannya dalam beribadah yang benar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Kaidah Fiqh
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah
kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah
bisa berarti al-asas (dasar atau
pondasi), al-Qanun (peraturan dan
kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip),
dan al-nasaq (metode atau
cara).
Qowa’idul fiqiyyah atau
kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli)yang
mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang
pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan
(menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan
masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah.
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul
Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas
berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap
berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
Para fuqoha
pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah
ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya
atau cabang-cabangnya.Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap
qidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqh dari
berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-benar
mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.
Maka, Qawaidul
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih)
adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan
tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu
perlu kiranya bagi kaum muslim untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang
merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi lebih arif dalam
menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan
pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah
politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat
dengan lebih baik.
Urgensi Kaidah Fiqhiyah
Hal yang berhubungan dengan Fiqh
sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada
kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai
klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap
kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan
memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni
dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.
Dalam pembahasannya Kaidah Fiqhiyah sering
menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaidah, atas dasar abjad, atau
berdasarkan sistematika fiqh. Berdasarkan keabsahan kaidah, dibagi atas
kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah qhairu asasiah. Kaidah asasiah oleh
Imam Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak
kerusakan dan menarik kemashlahatan”. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh
para Imam Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan
kekuatannya.
Adapun Kaidah asasiah ini terdiri
atas 5 macam (panca kaidah) yaitu :
a. Segala
masalah tergantung pada tujuannya.
b.
Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan
itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan
itu dapat menarik kemudahan.
Sedangkan kaidah-kaidah qhairu
asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap
diakui.
Sejarah
Ilmu Qaidah Fiqh
Suatu hal yang agak ganjil,dalam trikh tasyri’ atau sejarah fiqih
islam,bahwa sejarah dan fungsi kaidah fiqih tidak mendapatkan perhatian yang
memadai,sekalipun qaidah fiqih memiliki fungsi yang penting bagi pembinaan
hokum islam.
Sejarah
perkembangan qaidah fiqih dapat di bagi menjadi tiga fase,yaitu : fase
kemunculan dan berdirinya; fase perkembangan dan pembukuan nya;dan fase
kemajuan dan sistematikanya.
A.
Fase pertama
Adalah
fase kemunculan dan berdirinya qaidah fiqih,di mulai dari zaman rasulullah hingga akhir abad III H./IX M.
Jika
qaidah fiqih di definisikan sebagai suatu ketemtuan hukum yang dapat mencakup
berbagai masalah furu’,maka banyak hadist yang dapat di kategorikan sebagai
qaidah fiqih . sesuai dengan pembatasan itu,bahkan terdapat hadisnyang dapat di
berlakukan sebagai qaidah-qaidah fiqih tanpa ada perubahan,seperti hadis
berikut :
·
“orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas
resikonya.”
Oleh karena itu,masa kelahiran qaidah-kaidah fiqih dapat di
katakana telah dimulai sejak zaman rasulullah SAW. Hadis-hadis lain yang dapat
di jadikan sebagai qaidah-qaidah “tidak
madarat dan tidak memadarat kan”
·
“bukti di nyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang inkar
(tergugat)”.
·
“Sesuatu yanbg banyaknya dapat memabukan,maka yang sedikitnya juga
haram.”
Ia
menegaskan bahwa dalam hadis tersebut,rasulullah SAW. Membuat dhabit fiqih tentang keharaman setiap
yang memabukan,yakni setiap yang mematikan akal dan memabukan tanpa membedakan
macamnya,baik berupa makanan,ataupun minuman tetap di haramkan. (lihat majmu
fatawa XXVIII : 342).
Seperti halnya hadis,terdapat beberapa atasar sahabat yang dapat di
kategorikan sebagi qaidah fiqih. Salah satunya perkataan umar bin khaththab r.a
·
“putusnya hak bergantung pada syarat yang di perbuat” (sahih
bukhari,syarah Al-kirmani,XIX : 111 )
·
“Orang yang menanggung suatu harta benda maka ia memperoleh
keuntungan nya.” (Akhbar al-Qudhat,II : 319). .”
Qaidah ini semakna dengan qaidah berikut :
·
“orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas
resikonya”
Hal yang sama terlihat dari salah satu pernyataan ibnu abbas :
·
“segala sesuatu dalam al-qur’an yang menggunakan kata au (atau)
berarti menunjukan untuk memilih. Dan segala sesuatu yang menggunakan apabila
kamu tidak menemukan berarti hukumnya harus berurutan.”
Dikalangan tabi’in ,salah satu pernyataan Qadhi syuraih :
·
“sesuatu yang di syaratkan atas dirinya secara taat,tanpa
terpaksa,maka sesuatu itu mengikat ats dirinya.” Demikian pula pernyataan Al-Lays ibnu sa’ad :
·
“barangsiapa yang melakukan pengakuan suatu untuk kami,maka kami
mengikatnya.”
Keterangan
di atas menunjukan bahwa qaidah fiqih yang telah lahir di masa rasulullah
tumbuh padaa masa sahabat dan tabi’in,sekalipun daalam bentuk yang sederhana
dan terbatas.
Dalam
perkembangan selajutnya,qaidah fiqih semakin bertambah dan berkemang.akan
tetapi,qaidah-qaidah fiqih tersebut berserakan dalam berbagai kitab fiqih.
Dalam kitab Al-Kharaj,karya abu yusuf (w.182 H./798 M.),di jumpai berbagai
qaidah fiqih . di antaranya adalah qaidah yang menyatakan :
·
“hukuman ta’zir di serahkan pada pemimpin (pengurus),bergantung
pada besar kecilnya pelanggaran.”
(Al-Kharaj : 180) Qaidah ini di keluarkan sehubungan dengan adanya
silang pendapat di kalangan ulama mengenai batas maksimal hukuman ta’zir.
Dalam kitab Al-Umm,terdapat pernyatan Asy-syafi’I yang dapat di
kategorikan sebagai qaidah fiqih.
·
“kedudukan pemimpin atas rakyat sama dengan kedudukan wali atas
anak yatim.”
Pernyataan tersebut sejajar dengan qaidah fiqih :
·
“Tindakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.”
(Al-Asybah wa An-Nadzair dan Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah),QV dan
pasal 58)
Dalam kitab yang di tulis oleh Abu yusuf di atas,yaitu Al-Kharaj
(183) di jumpai ungkapan :
Ungkapan tersebut sepadan dengan penyataan As-Shadr
Asy-Syahid,dalam Syarh Adab Al-Qadlhi (II : 292)
·
“Pengakuan itu sebagai hujjah yang efektif untuk diri yang
melakukan pengakuan.”
Dalam majjalah Al-Ahkam Al-Adiyah,pada pasal 79,kedua ungkapan di
atas terrangkum dalam qaidah fiqih yang berbunyi .
·
“seseorang itu terbebani oleh pengakuannya.”
Hal
itu menunjukan proses perkembangan suatu qaidah fiqih. Qaidah fiqih dalam
rumusan perundang-undangan sangat singkat dan menyentuh jiwa hukum yang hidup
di masa kini.
Dalam
kitab Al-Umm, terdapat kentuan furu yang di sertai ushulnya.pada
umumnya,ushul-nya merupakan dhawabith
fiqhiyyah,bukan qaidah fiqih.selain itu,di jumpai pula qaidah fiqihnya.
·
“keringanan itu tidak bisa melewati batas.”(AAl-Umm,I : 80)
Dalam majjalah
Al-Adliyyah,pasal 15,qaidah tersebut di rumuskan :
·
“sesuatu yang berbeda dengan ketemtuan umum maka tidak bisa di
jadikan sansaran qiyas.”
Contoh lain nya “keringanan (rukhshah) menurut
kami berada pada ketaatan.sedangkan dalam kemaksiatan tidak ada keringanan
(rukhshah).”
Dirumuskan :
Qaidah fiqih dan dhabith
fiqih terdapat dalam kitab fiqih abad 2 dan 3 Hijriyyah,terutama kitab dalam berbagai
raj,Al-ashl,dan Al-Umm. Kitab-kitab tersebut merupakan bahan pokok atau sumber
perumusan qaidah-qaidah pada masa-masa berikutnya. Dengan demikian,dapat
dikatakan bahwa hingga abad 3 H , qaidah fiqih belum merupakan disiplin ilmu
tersendiri.
B.
Fase Kedua,masa perkembangan dan pembukaan Qaidah Fiqih
Fase
kedua di mulai pada abad 4 H./10 M. sampai lahirnya kompilasi hukum islam pada
masa turki ustmani atau abad 13 H./19 H.
Dalam tarikh
tasri’,masa ini termasuk masa taqlid. Pada masa ini, kitab-kitab fiqih Sangat
banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab pengangan tertentu. Ketika
itu,para ulama tampaknya puas dengan kitab fiqih yang ada dan melimpah-ruah.
Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.
Dalam banyak hal,keadaan seperti itu
menyebabkan para ulama tidak melakukan ijtihad
mutlak. Mereka merasa lebih tertarik untuk membuat qaidah-qaidah ushul;
atau menulis ushul fiqih,termasuk merumuskan qaidah fiqih.
Dengan demikian,sekalipun ijtihad
tidak berlangsung dengan gencar,pada masa ini terjadi peningkatan dalam
penulisan ushul fiqih dan qaidah fiqih.oleh karena itu,masa-masa ini dapat
dikatakan sebagai masa keemasan penulisan ushul fiqih dan qaidah fiqih.pada
masa ini,fuqaha mulai menyusun fiqih dalam bentuk baru; kini, tulisan mereka
terangkum dalam tema-tema semisal Al-Qawaid wa Ad-Dawabith,Al-furuq, Al-Asbah
wa An-Nazhair,dan sebagainya,karena penulisan pada periode ini di mulai dengan
pernyataan umum
(qaidah-qaidah)
kemudian di ikuti dengan penulisan furu’,sebagai mana terlihat dari kitab yang
di tulis oleh jalal al Din al-suyuthi,Al-Asbah wa An-Nazha’ir.
Masa keemasan dari pembukaan
qaidah-qaidah fiqih terjadi pada abad 8 H. pada abad ini,banyak lahir kitab
qaidah,terutama di kalangan ulama syafi’iyah.Qaidah-qaidah fiqih
tersebut,kemudian, disempunakan secara sistematis pada abad 9 H. hal ini
terlihat jenis dari kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya ibnu mulaqqin (723-804
H./1323-1402 M.) atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-Hishal (752-859 H./
1351-1425 M.). akhirnya,puncak keemasan pembukaan qaidah fiqih yang
terbaik,yang sedang kita bahas.
Pada
fasse kedua ini,penulisan qaidah fiqih di mulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi
dari kalangan ulama Hanafiyah. Pada fase ini,umumnya ulama menulis qaidah fiqih
dengan cara mengunip dan menghimpun qaidah-qaidah yang terdapat pada
kitab-kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain itu, merekapun melakukannya
dengan jalan mencantumkan qaidah-qaidah fiqh dalam kitab fiqih,yaitu ketika
mereka mencari illat dan men-tarjih suatu pendapaat.seabagi contoh,ketika al-juwani
(w. 478 H./1085 M.)menjelaskan bahwa pelaksanaa shalat bergantung pada
kemampuan seseorang ia mencantumkan qaidah :
·
“sesuatu yang bisa di lakukan tak bisa gugur karena ada yang tidak
dapat di lakukan”
Pada perkembangan selanjutnya, qaidah tersebut berbunyi :
·
“sesuatu yang mudah di lakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit
di lakukan.”
Contoh lain terlihat pada kitab badai Al-Shana’I,karya Al-Kasani
Al-Hanafi (w.587 H./1191 M.), yang mencoba menghubungkan furu’dengan ushul-nya.
Demikian pula An-Nawawi (w.676 H./1277 M.),dalam kitab Al-Majmu’ ( I
:222,246,252,253 dan 257),melakukan hal yang sama ; ia sering menghubungkan
ketetapan hukum berbagai masalah dengan qaidah fiqih :
·
“suatu keyakinan tidak hilang dengan adanya keraguan.”
Dalam pada itu,ibnu taimiyyah (XXI : 475 dan 503),melakukan hal
yang sama dengan menggunakan qaidah :
·
“hukum yang ditetapkanberdasarkan illat bisa hilang (berubah)dengan
hilangnya illat.”
Adapun ibnu Al-Qayyim,dalam kitab I’lam Al-muwaqi’in (ll : 161
),melakukannya dengan menggunakan qaidah :
·
“sesuatu yang di haramkan karena sad Adz-dzari’ah dapat di bolehkan
karena adanya maslahat yang lebih kuat.”
Qaidah-qaaidah fiqih yang di kemuka kan oleh para ulama di
atas,menunjukan bahwa qaidah-qaidah fiqih,baik yang tercantum di dalam kitab
fiqih maupun yang telah di bukukan dalam kitab qaidah,sangan berperan dalam
pembinaan hukum islam.
C.
Fase Ketiga,Fase kemajuan dan sistematisasi Qaidah Fiqih
Fase ini di mulai dengan kelahiran
majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (kompilasi hukum islam di masa turki usmani).
Kompilasi ini pada dasarnya merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman
sultan ’ Abd Al-Aziz Khan Al-Utsmani,yang
di tetap kan pada tanggal 26 Sya’ban 1292 H./28 September 1875 M. Ia merupakan
ensiklopedi fiqih islam dalam bidang mu’amalah dan hukum acara peradilan yang
terdiri atas 1851 pasal. Kitab tersebut disusun dengan bahasa
perundang-undangan. Dalam majalah tersebut,tidak semua pasal berupa qaidah
fiqih,tetapi terdapat pula qaidah ushul. Di antara qaidah fiqih adalah :
·
Pasal
12 : “Ashal dalam suatu perkataan adalah
makna hakikat.”
·
Pasal
13 : “petunjuk lafazh tidak di jadikan
dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit”
·
Pasal
14 : ”Tidak di benarkan berijtihad ketika
ada nash (qath’i).”
Panca Kaidah Asasiah(al-qoaidah assasiyyah)
Panca kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al Quran dan
as sunnah maupun dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan
atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga
sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Adapun bentuk-bentuk panca kaidah itu adalah:
A. Kaidah Yang Berkaitan dengan
Fungsi Tujuan
1. Teks Kaidahnya
” Setiap perkara tergantung pada tujuannya”
الأمور بمقاصدها
3.
Nilai dari perbuatan
tergantung maksud-maksudnya
Kaidahnya:
Berbagai pekara/urusan/perbuatan
dinilai sesuai maksud-maksudnya[1].
Kaidah ini berasal dari hadits
terkenal:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله
فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى
ما هاجر إليه
"Sesungguhnya
amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai
yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya
kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan
RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu."Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam juga bersabda:
Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Niat
a. ما لا يشترط
التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر
Sesuatu yang tidak disyaratkan
penjelasannya secara global maupun terperinci ketika dita'yin dan salah maka
statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh
kaidah :
Kesalahan
dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah kantin Asyiq)
niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat itu dia berada di
Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang Wonosobo). Maka shalat mbah
Muntaha tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan tempat
shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau terperinci
(tafshil).
b. ما يشترط فيه
التعين فالخطأ فيه مبطل
Sesuatu yang memerlukan penjelasan,
maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal.
Contoh
kaidah:
1. Seseorang
yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya
tersebut tidak sah.
2. Kesalahan dalam menjelaskan
pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan).
c. اذا عينه
واخطأ ضرَّما يشترط التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا
Sesuatu yang memerlukan penjelasan
secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika
kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.
Contoh
kaidah :
Seseorang
yang bernama Iqbal niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah Arief.
Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain
yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Iqbal tidak
sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah
menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya
disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa
imamnya.
d. مقاصد اللفظ على
نية اللافظ
Maksud
sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :
Contoh kaidah :
1. Temon adalah
seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari Kutowinangun Kebumen).
Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq
dan seorang budak perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa
Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud
menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika hanya
bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya. Begitu juga
dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan memerdekakan,
maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya jika ia hanya bertujuan
memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
4. Contoh Aplikasi
a. Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat,
maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4 rakaat, tetapi
ia tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah.
b. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi niatnya menunaikan
shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
c. Seseorang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseoarang, dan
maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad saja.
B. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Keyakinan
1. Teks
Kaidahnya
”Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Kaidah Kedua
:اليقين لايزال با لشاك “Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan”.
1. DasarKaidah
Sumberkaidahinidarihadits yang berbunyi ;
قال رسولالله
صلى الله عليه وسلم : إذاوجد احد كم في بطنه شيئا فأشكل عليه اخرج منه شيً ام لا فلا
يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أويجد ريحا
“Manakala
seseorang diantaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah
sesuatau yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid,
sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”
Kaidah-kaidahituantaralain :
a.الاصل بقاء ما كان على ما
كان
Pada dasarnya
ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.
Contoh kaidah :
1. Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya
fajar maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap
malam (al-aslu baqa-u al-lail).
b. الاصل براة الذمة
hukum asal adalah tidak adanya
tanggungan.
Contoh kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu
perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak
dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan
tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa [2](mudda’i).
c.
الاصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh kaidah :
Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena
pada dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).
d.
الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه
Asal sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekatzamannya.
Contoh kaidah :
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga
cerewet, maka tanpa pikir panjang Ipin (tetangga wanita tersebut memukul perut
si wanita hamil tersebut. Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang
bayi dalam keadaan sehat. Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si
jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati.
Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang
bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding
pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.
e.
الاصل فى الابضاع التحريم(Hukum asal farji adalah haram)
contoh kaidah :
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam
sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan
tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka
menjadi istrinya. Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah,
sehingga oleh karenanya perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi
itu, dengan jumlah perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama
saudara perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika
jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat kemurahan,
sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya
kesempatan berbuat zina.
f. الاصل فى الآ شياء الاءباحة(Hukum ashal (pada dasarnya)
segala sesuatu itu diperbolehkan)
contoh kaidah : Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke
Jakarta. Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut
kedua bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan.Akhirnya
setelah melihat isi dompet masing-masing keduanyamemutuskan untuk mampir makan
di restourant yang lumayan mewah,tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya
itu halal atau haram.Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging
itu boleh dimakan
3. المشقة تجلب
التيسر(Kesulitan
akan menarik kepada kemudahan)
Sumber kaidah: لا
ضرر ولا ضرار
“ tidak boleh membuat kemadharatan dan membalas kemadlaratan”[3]
(Hr. Iibnu majah).
Termasuk dalam
kaidah ini antara lain
الاشياء اذا
اتسع ضاقت
Sesuatu yang
dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah
:
Sedikit gerakan
dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan banyak
bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
4. الضرر يزال(Kemudlorotan itu harus
dihilangkan)
Arti dari kaidah ini menunjukan bahwa kemudlorotan itu telah terjadi dan akan
terjadi.
Sumber kaidah :
وما جعل عليكم في الدين من حرج
“Dan dia ( Tuhan ) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit
kesempitanpun.”
Apabila
demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Termasuk dalam kaidah ini,
kaidah-kaidah antara lain sebagai berikut:
a.
الضررلا يزال بالضرر(Kemudlorotan itu tidak boleh dihilangkan
dengan kemudlorotan).
Contoh kaidah :
Iqbal dan Subekti adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya
menahan lapar nekat mengambil getuk Manis (asli produk Yogya) kepunyaan Subekti
yang kebetulan dibeli sebelumnya di Kantin FIAI. Tindakan Iqbal -walaupun dalam
keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan karena
Subekti juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
b.
الضرورات تبيح المحظورات(Kondisi darurat memperbolehkan
sesuatu yang semula dilarang)
Contoh kaidah :
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren Universitas Islam
Indonesia (PPUII), ditengah-tengah hutan IqbalZen atau Zen dihadang oleh
segerombolan begal, semua bekal Zen ludes dirampas oleh mereka yang tak
berperasaan -sayangnya Zen tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang
bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib
Zen nantinya, lama-kelamaan Zen merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli
makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Zen
seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan
mengejek si-Zen yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si babi
hutan itu. Zen bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang
kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Zen langsung
menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar mengobati
rasa lapar. Tindakan Zen memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut
diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula
dilarang.
c. ما ابيح
للضرورة يقدر بقدرها(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlorotan
diukur menurut kadar kemudlorotan).
Contoh kaidah : Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan
pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika
dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga
tempat.
d.
الحجة قد تنزل منزلة الضرورة(Kebutuhan (hajat) terkadang
menempati posisi darurat) contoh kaidah : Diperbolehkan memandang wanita selain
mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena khithbah (lamaran).
e.
اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما(Apabila dua mafsadah
bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudlorotnya dengan
dikerjakan yang lebih ringan mudlorotnya.
f. درء المفاسد
مقدم على جلب المصالح(Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada
mengambil kemaslahatan)
contoh kaidah : Berkumur dan mengisap air kedalam
hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan
bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat
membatalkan puasanya
5. العادة محكمة(Adat kebiasaan dapat ditetapkan
sebagai hukum)
Perlu diingat bahwa adat kebiasaan yang berkembang di masyarakat saat ini
sangat banyak jumlahnya. Usaha selektif terhadap berbagai adat kebiasaan yang
dapat diadopsi sebagai hukum tentunya tidaklah sembarangan yang tentu harus
menliputi bermacam-macam syarat diantaranya supaya adat dapat diterima sebagai
landasan hukum ialah tidak bertentangan dengan syara’, dilaksanakan secara
mayoritas, mendatangkan manfaat, dan juga tidak bertentangan dengan akal sehat.
Termasuk dalam
kaidah ini,ialah :
a.
ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة
يرجع فيه الى العرف (Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi
didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan
kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku).
Contoh kaidah :
Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan
menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut. Terkait dengan kaidah di
atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak
harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan
hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap cukup.
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam
macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap
jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti
cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan
kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan.
Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin
ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang
diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian
hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan
meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas
dari kegiatan hukum.
Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan
ataupun penyusunan materi dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan,
demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi para pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
:
1. Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam
Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia
1998
3. Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah
dan Islam, Program Pascasarjana, UI, 2007
[1](Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan
Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al
Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1,
1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al
Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah,
Hal. 11)
[2] Mudda’i
adalah orang yang mendakwah.
[3]HR
ibnumajah :adalahsalahseorangmuhaddisin yang
terkenaldanbanyakmeriwayatkanhadis-hadisseperti di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komen ya gan :D