Translate

Selasa, 30 April 2013

kaidah fiqhiyah



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadits, kaidah FIQHIYAH merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia. Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. 

1.2 Rumusan Masalah
Yang menjadi sorotan utama dalam makalah ini adalah:
1.      Hakikat dan defenisi kaidah fiqhi
2.      Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dari qaidah-qaidah tersebut
3.      Sumber-sumber qaidah tersebut di ambil

1.3tujuan penulisan makalah ini antara lain:
1.      bentuk penyelesaian tugas mata kuliah usul fiqh
2.      menjelaskan qaidah-qaidah pokok secara jelas
3.      mengetahui penerapan secara benar dalam beribadah

1.4  manfaat penulisan
kami berharap makalah ini mampu menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai qaidah-qaidah fiqhiyahdan mengetahui penerapannya dalam beribadah yang benar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi Kaidah Fiqh
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad Warson menembahkan bahwa, kaidah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). 
Qowa’idul fiqiyyah atau kaidah-kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum (kulli)yang mengelompokkan masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok yang pula merupakan kaidah atau pedoman yang memudahkan dalam mengistinbathkan (menyimpulkan) hukum bagi suatu masalah yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dengan suatu kaedah.
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.
Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya.Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa setiap qidah fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.
Maka, Qawaidul fiqhiyah  (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan menjadi  lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat dengan lebih baik.
Urgensi Kaidah Fiqhiyah
Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.
Dalam pembahasannya Kaidah Fiqhiyah sering menggunakan sistematika atas dasar keabsahan kaidah, atas dasar abjad, atau berdasarkan sistematika fiqh. Berdasarkan keabsahan kaidah, dibagi atas kaidah-kaidah asasiah dan kaidah-kaidah qhairu asasiah. Kaidah asasiah oleh Imam Muhammad Izzudin bin Abdis Salam diringkas menjadi kaidah “Menolak kerusakan dan menarik kemashlahatan”. Kaidah ini merupakan kaidah yang oleh para Imam Mazhab telah disepakati tanpa ada pihak yang memperselisihkan kekuatannya.
Adapun Kaidah asasiah ini terdiri atas 5 macam (panca kaidah) yaitu :
a. Segala masalah tergantung pada tujuannya.
b. Kemudharatan itu harus dihilangkan
c. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum.
d. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
e. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan.
Sedangkan kaidah-kaidah qhairu asasiah merupakan pelengkap dari kaidah asasiah, dan keabsahannya masih tetap diakui.


Sejarah Ilmu Qaidah Fiqh
Suatu hal yang agak ganjil,dalam trikh tasyri’ atau sejarah fiqih islam,bahwa sejarah dan fungsi kaidah fiqih tidak mendapatkan perhatian yang memadai,sekalipun qaidah fiqih memiliki fungsi yang penting bagi pembinaan hokum islam.
            Sejarah perkembangan qaidah fiqih dapat di bagi menjadi tiga fase,yaitu : fase kemunculan dan berdirinya; fase perkembangan dan pembukuan nya;dan fase kemajuan dan sistematikanya.
A.     Fase pertama
Adalah fase kemunculan dan berdirinya qaidah fiqih,di mulai dari zaman rasulullah  hingga akhir abad III H./IX M.
Jika qaidah fiqih di definisikan sebagai suatu ketemtuan hukum yang dapat mencakup berbagai masalah furu’,maka banyak hadist yang dapat di kategorikan sebagai qaidah fiqih . sesuai dengan pembatasan itu,bahkan terdapat hadisnyang dapat di berlakukan sebagai qaidah-qaidah fiqih tanpa ada perubahan,seperti hadis berikut :
·        “orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas resikonya.”
Oleh karena itu,masa kelahiran qaidah-kaidah fiqih dapat di katakana telah dimulai sejak zaman rasulullah SAW. Hadis-hadis lain yang dapat di jadikan sebagai qaidah-qaidah  “tidak madarat dan tidak memadarat kan”
·        “bukti di nyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang inkar (tergugat)”.
·        “Sesuatu yanbg banyaknya dapat memabukan,maka yang sedikitnya juga haram.”
Ia menegaskan bahwa dalam hadis tersebut,rasulullah SAW. Membuat dhabit fiqih tentang keharaman setiap yang memabukan,yakni setiap yang mematikan akal dan memabukan tanpa membedakan macamnya,baik berupa makanan,ataupun minuman tetap di haramkan. (lihat majmu fatawa XXVIII : 342).
             Seperti halnya hadis,terdapat beberapa atasar sahabat yang dapat di kategorikan sebagi qaidah fiqih. Salah satunya perkataan umar bin khaththab r.a
·        “putusnya hak bergantung pada syarat yang di perbuat” (sahih bukhari,syarah Al-kirmani,XIX : 111 )
·        “Orang yang menanggung suatu harta benda maka ia memperoleh keuntungan nya.” (Akhbar al-Qudhat,II : 319). .”
Qaidah ini semakna dengan qaidah berikut :
·        “orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas resikonya”
Hal yang sama terlihat dari salah satu pernyataan ibnu abbas :
·        “segala sesuatu dalam al-qur’an yang menggunakan kata au (atau) berarti menunjukan untuk memilih. Dan segala sesuatu yang menggunakan apabila kamu tidak menemukan berarti hukumnya harus berurutan.”
Dikalangan tabi’in ,salah satu pernyataan Qadhi syuraih :
·        “sesuatu yang di syaratkan atas dirinya secara taat,tanpa terpaksa,maka sesuatu itu mengikat ats dirinya.” Demikian pula pernyataan Al-Lays ibnu sa’ad :
·        “barangsiapa yang melakukan pengakuan suatu untuk kami,maka kami mengikatnya.”
Keterangan di atas menunjukan bahwa qaidah fiqih yang telah lahir di masa rasulullah tumbuh padaa masa sahabat dan tabi’in,sekalipun daalam bentuk yang sederhana dan terbatas.
Dalam perkembangan selajutnya,qaidah fiqih semakin bertambah dan berkemang.akan tetapi,qaidah-qaidah fiqih tersebut berserakan dalam berbagai kitab fiqih. Dalam kitab Al-Kharaj,karya abu yusuf (w.182 H./798 M.),di jumpai berbagai qaidah  fiqih . di  antaranya adalah qaidah yang menyatakan :
·        “hukuman ta’zir di serahkan pada pemimpin (pengurus),bergantung pada besar kecilnya pelanggaran.”
(Al-Kharaj : 180) Qaidah ini di keluarkan sehubungan dengan adanya silang pendapat di kalangan ulama mengenai batas maksimal hukuman ta’zir.
Dalam kitab Al-Umm,terdapat pernyatan Asy-syafi’I yang dapat di kategorikan sebagai qaidah fiqih.
·        “kedudukan pemimpin atas rakyat sama dengan kedudukan wali atas anak yatim.”
Pernyataan tersebut sejajar dengan qaidah fiqih :
·        “Tindakan pemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.”
(Al-Asybah wa An-Nadzair dan Majallah Al-Ahkam Al-Adliyah),QV dan pasal 58)
Dalam kitab yang di tulis oleh Abu yusuf di atas,yaitu Al-Kharaj (183) di jumpai ungkapan :
Ungkapan tersebut sepadan dengan penyataan As-Shadr Asy-Syahid,dalam Syarh Adab Al-Qadlhi (II : 292)

·        “Pengakuan itu sebagai hujjah yang efektif untuk diri yang melakukan pengakuan.”
Dalam majjalah Al-Ahkam Al-Adiyah,pada pasal 79,kedua ungkapan di atas terrangkum dalam qaidah fiqih yang berbunyi .
·        “seseorang itu terbebani oleh pengakuannya.”
Hal itu menunjukan proses perkembangan suatu qaidah fiqih. Qaidah fiqih dalam rumusan perundang-undangan sangat singkat dan menyentuh jiwa hukum yang hidup di masa kini.
Dalam kitab Al-Umm, terdapat kentuan furu yang di sertai ushulnya.pada umumnya,ushul-nya merupakan dhawabith fiqhiyyah,bukan qaidah fiqih.selain itu,di jumpai pula qaidah fiqihnya.
·        “keringanan itu tidak bisa melewati batas.”(AAl-Umm,I : 80)
Dalam majjalah Al-Adliyyah,pasal 15,qaidah tersebut di rumuskan :
·        “sesuatu yang berbeda dengan ketemtuan umum maka tidak bisa di jadikan sansaran qiyas.”
 Contoh lain nya “keringanan (rukhshah) menurut kami berada pada ketaatan.sedangkan dalam kemaksiatan tidak ada keringanan (rukhshah).”
Dirumuskan :
      Qaidah fiqih dan dhabith fiqih terdapat dalam kitab fiqih abad 2 dan 3 Hijriyyah,terutama kitab dalam berbagai raj,Al-ashl,dan Al-Umm. Kitab-kitab tersebut merupakan bahan pokok atau sumber perumusan qaidah-qaidah pada masa-masa berikutnya. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa hingga abad 3 H , qaidah fiqih belum merupakan disiplin ilmu tersendiri.
B.     Fase Kedua,masa perkembangan dan pembukaan Qaidah Fiqih
Fase kedua di mulai pada abad 4 H./10 M. sampai lahirnya kompilasi hukum islam pada masa turki ustmani atau abad 13 H./19 H.
Dalam tarikh tasri’,masa ini termasuk masa taqlid. Pada masa ini, kitab-kitab fiqih Sangat banyak. Masing-masing madzhab fiqih memiliki kitab pengangan tertentu. Ketika itu,para ulama tampaknya puas dengan kitab fiqih yang ada dan melimpah-ruah. Masa ini merupakan masa kejayaan fiqih.
            Dalam banyak hal,keadaan seperti itu menyebabkan para ulama tidak melakukan ijtihad mutlak. Mereka merasa lebih tertarik untuk membuat qaidah-qaidah ushul; atau menulis ushul fiqih,termasuk merumuskan qaidah fiqih.
            Dengan demikian,sekalipun ijtihad tidak berlangsung dengan gencar,pada masa ini terjadi peningkatan dalam penulisan ushul fiqih dan qaidah fiqih.oleh karena itu,masa-masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan penulisan ushul fiqih dan qaidah fiqih.pada masa ini,fuqaha mulai menyusun fiqih dalam bentuk baru; kini, tulisan mereka terangkum dalam tema-tema semisal Al-Qawaid wa Ad-Dawabith,Al-furuq, Al-Asbah wa An-Nazhair,dan sebagainya,karena penulisan pada periode ini di mulai dengan pernyataan umum
(qaidah-qaidah) kemudian di ikuti dengan penulisan furu’,sebagai mana terlihat dari kitab yang di tulis oleh jalal al Din al-suyuthi,Al-Asbah wa An-Nazha’ir.
            Masa keemasan dari pembukaan qaidah-qaidah fiqih terjadi pada abad 8 H. pada abad ini,banyak lahir kitab qaidah,terutama di kalangan ulama syafi’iyah.Qaidah-qaidah fiqih tersebut,kemudian, disempunakan secara sistematis pada abad 9 H. hal ini terlihat jenis dari kitab Al-Asybah wa An-Nazhair karya ibnu mulaqqin (723-804 H./1323-1402 M.) atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-Hishal (752-859 H./ 1351-1425 M.). akhirnya,puncak keemasan pembukaan qaidah fiqih yang terbaik,yang sedang kita bahas.
           
Pada fasse kedua ini,penulisan qaidah fiqih di mulai oleh Al-Karakhi dan Ad-Dabusi dari kalangan ulama Hanafiyah. Pada fase ini,umumnya ulama menulis qaidah fiqih dengan cara mengunip dan menghimpun qaidah-qaidah yang terdapat pada kitab-kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain itu, merekapun melakukannya dengan jalan mencantumkan qaidah-qaidah fiqh dalam kitab fiqih,yaitu ketika mereka mencari illat dan men-tarjih suatu pendapaat.seabagi contoh,ketika al-juwani (w. 478 H./1085 M.)menjelaskan bahwa pelaksanaa shalat bergantung pada kemampuan seseorang ia mencantumkan qaidah :
·        “sesuatu yang bisa di lakukan tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat di lakukan”
Pada perkembangan selanjutnya, qaidah tersebut berbunyi :
·        “sesuatu yang mudah di lakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit di lakukan.”
Contoh lain terlihat pada kitab badai Al-Shana’I,karya Al-Kasani Al-Hanafi (w.587 H./1191 M.), yang mencoba menghubungkan furu’dengan ushul-nya. Demikian pula An-Nawawi (w.676 H./1277 M.),dalam kitab Al-Majmu’ ( I :222,246,252,253 dan 257),melakukan hal yang sama ; ia sering menghubungkan ketetapan hukum berbagai masalah dengan qaidah fiqih :
·        “suatu keyakinan tidak hilang dengan adanya keraguan.”
Dalam pada itu,ibnu taimiyyah (XXI : 475 dan 503),melakukan hal yang sama dengan menggunakan qaidah :
·        “hukum yang ditetapkanberdasarkan illat bisa hilang (berubah)dengan hilangnya illat.”
Adapun ibnu Al-Qayyim,dalam kitab I’lam Al-muwaqi’in (ll : 161 ),melakukannya dengan menggunakan qaidah :
·        “sesuatu yang di haramkan karena sad Adz-dzari’ah dapat di bolehkan karena adanya maslahat yang lebih kuat.”
Qaidah-qaaidah fiqih yang di kemuka kan oleh para ulama di atas,menunjukan bahwa qaidah-qaidah fiqih,baik yang tercantum di dalam kitab fiqih maupun yang telah di bukukan dalam kitab qaidah,sangan berperan dalam pembinaan hukum islam.

C.     Fase Ketiga,Fase kemajuan dan sistematisasi Qaidah Fiqih
Fase ini di mulai dengan kelahiran majallah Al-Ahkam Al-Adliyyah (kompilasi hukum islam di masa turki usmani). Kompilasi ini pada dasarnya merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman sultan ’ Abd Al-Aziz Khan Al-Utsmani,yang di tetap kan pada tanggal 26 Sya’ban 1292 H./28 September 1875 M. Ia merupakan ensiklopedi fiqih islam dalam bidang mu’amalah dan hukum acara peradilan yang terdiri atas 1851 pasal. Kitab tersebut disusun dengan bahasa perundang-undangan. Dalam majalah tersebut,tidak semua pasal berupa qaidah fiqih,tetapi terdapat pula qaidah ushul. Di antara qaidah fiqih adalah :
·        Pasal 12 : “Ashal dalam suatu perkataan adalah makna hakikat.”
·        Pasal 13 : “petunjuk lafazh tidak di jadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit”
·        Pasal 14 : ”Tidak di benarkan berijtihad ketika ada nash (qath’i).”

Panca Kaidah Asasiah(al-qoaidah assasiyyah)
Panca kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui Al Quran dan as sunnah maupun dalil-dalil istimbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqh, sehingga sampai dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam. Adapun bentuk-bentuk panca kaidah itu adalah:
A. Kaidah Yang Berkaitan dengan Fungsi Tujuan
1. Teks Kaidahnya
” Setiap perkara tergantung pada tujuannya”
الأمور بمقاصدها
3.       Nilai dari perbuatan tergantung maksud-maksudnya
Kaidahnya:
Berbagai pekara/urusan/perbuatan dinilai sesuai maksud-maksudnya[1]. 
            Kaidah ini berasal dari hadits terkenal:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
"Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat, dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrahnya  kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barang siapa yang hijrahnya   karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu."Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan Niat
a.      ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر                    
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
 Contoh kaidah : 
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah kantin Asyiq) niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat itu dia berada di Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang Wonosobo). Maka shalat mbah Muntaha tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau terperinci (tafshil). 
b.      ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل                  
Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal. 
Contoh kaidah: 
1. Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.  
2. Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan). 
c.   اذا عينه واخطأ ضرَّما يشترط التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا
Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.
Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Iqbal niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Iqbal tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.  
d.  مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :  
1.   Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari Kutowinangun Kebumen). Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq dan seorang budak perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya. Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya jika ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.



4. Contoh Aplikasi
a.  Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila seoarang muslim berniat melaksanakan shalat magrib 4 rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah.
b. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi niatnya menunaikan shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
c. Seseorang yang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseoarang, dan maksudnya dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad saja.
B. Kaidah Yang Berkenaan Dengan Keyakinan
1. Teks Kaidahnya
”Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Kaidah Kedua :اليقين لايزال با لشاكYakin itu tidak dapat dihilangkan dengan kebimbangan”.
1.      DasarKaidah
Sumberkaidahinidarihadits yang berbunyi ;
قال رسولالله صلى الله عليه وسلم : إذاوجد احد كم في بطنه شيئا فأشكل عليه اخرج منه شيً ام لا فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أويجد ريحا
“Manakala seseorang diantaramu menemukan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu, adakah sesuatau yang keluar darinya atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid, sampai ia mendengar suara atau menemukan bau”
Kaidah-kaidahituantaralain :
a.الاصل بقاء ما كان على ما كان
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.



Contoh kaidah :  
1. Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu baqa-u al-lail). 
b. الاصل براة الذمة
 hukum asal adalah tidak adanya tanggungan. 
Contoh kaidah:  
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa [2](mudda’i).
c.       الاصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan 
Contoh kaidah :
Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah). 
d.     الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه
Asal sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekatzamannya. 
Contoh kaidah :  
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga cerewet, maka tanpa pikir panjang Ipin (tetangga wanita tersebut memukul perut si wanita hamil tersebut. Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat. Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.
e.      الاصل فى الابضاع التحريم(Hukum asal farji adalah haram)
contoh kaidah :
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi istrinya. Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.
f.   الاصل فى الآ شياء الاءباحة(Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan)
contoh kaidah : Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan.Akhirnya setelah melihat isi dompet masing-masing keduanyamemutuskan untuk mampir makan di restourant yang lumayan mewah,tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau haram.Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh dimakan

3. المشقة تجلب التيسر(Kesulitan akan menarik kepada kemudahan)
           
Sumber kaidah: لا ضرر ولا ضرار
“ tidak boleh membuat kemadharatan dan membalas kemadlaratan”[3] (Hr. Iibnu majah).
Termasuk dalam kaidah ini antara lain
      الاشياء اذا اتسع ضاقت
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.


Contoh kaidah :  
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
4. الضرر يزال(Kemudlorotan itu harus dihilangkan)
            Arti dari kaidah ini menunjukan bahwa kemudlorotan itu telah terjadi dan akan terjadi.
Sumber kaidah : وما جعل عليكم في الدين من حرج
“Dan dia ( Tuhan ) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama sedikit kesempitanpun.”
Apabila demikian halnya wajib untuk dihilangkan. Termasuk dalam kaidah ini, kaidah-kaidah antara lain sebagai berikut:
a.      الضررلا يزال بالضرر(Kemudlorotan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudlorotan). 
Contoh kaidah : Iqbal dan Subekti adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Iqbal, saking tidak tahannya menahan lapar nekat mengambil getuk Manis (asli produk Yogya) kepunyaan Subekti yang kebetulan dibeli sebelumnya di Kantin FIAI. Tindakan Iqbal -walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan karena Subekti juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.

b.      الضرورات تبيح المحظورات(Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang)
Contoh kaidah : Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren Universitas Islam Indonesia (PPUII), ditengah-tengah hutan IqbalZen atau Zen dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal Zen ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -sayangnya Zen tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib Zen nantinya, lama-kelamaan Zen merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Zen seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan mengejek si-Zen yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si babi hutan itu. Zen bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Zen langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar. Tindakan Zen memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
c.       ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها(Apa yang diperbolehkan karena adanya kemudlorotan diukur menurut kadar kemudlorotan).
Contoh kaidah : Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat. 
d.     الحجة قد تنزل منزلة الضرورة(Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat) contoh kaidah : Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena khithbah (lamaran).
e.      اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما(Apabila dua mafsadah bertentangan, maka diperhatikan mana yang lebih besar mudlorotnya dengan dikerjakan yang lebih ringan mudlorotnya.
f.        درء المفاسد مقدم على جلب المصالح(Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan)
contoh kaidah : Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya
5. العادة محكمة(Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum)
            Perlu diingat bahwa adat kebiasaan yang berkembang di masyarakat saat ini sangat banyak jumlahnya. Usaha selektif terhadap berbagai adat kebiasaan yang dapat diadopsi sebagai hukum tentunya tidaklah sembarangan yang tentu harus menliputi bermacam-macam syarat diantaranya supaya adat dapat diterima sebagai landasan hukum ialah tidak bertentangan dengan syara’, dilaksanakan secara mayoritas, mendatangkan manfaat, dan juga tidak bertentangan dengan akal sehat.
Termasuk dalam kaidah ini,ialah : 

a.      ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف   (Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku).
Contoh kaidah : Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut. Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap cukup.


PENUTUP
Kesimpulan
            Bahwa permasalahan-permasalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar supaya didapati jalan keluar terhadap jalan penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan.
            Maka, hendaklah seorang muslim memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam. Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan hukum.

Saran
            Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan ataupun penyusunan materi dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, demi kesempurnaan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan bagi para pembaca umumnya.



DAFTAR PUSTAKA :
1. Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993.
2. Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
3. Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Program Pascasarjana, UI, 2007





[1](Imam As Suyuthi’, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 8. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/65. Cet. 1,  1991M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Syaikh Abdullah bin Sa’id Al Hadhrami Al Hasyari, Idhah Al Qawaid Al Fiqhiyah Lithulab Al Madrasah, Hal. 11)

[2] Mudda’i adalah orang yang mendakwah.
[3]HR ibnumajah :adalahsalahseorangmuhaddisin yang terkenaldanbanyakmeriwayatkanhadis-hadisseperti di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komen ya gan :D